Kamis, 11 Desember 2008

Menggugat kembali sistem perpajakan berdasarkan self assessment

Upayaa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengajukan judicial review terhadap Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 tentang ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP) khususnya yang menyangkut pasal kerahasiaan jabatan dan pemungutan berdasarkan self assesment perlu disikapi dengan jernih. Dalih bahwa tanpa adanya pengawasan yang efektif baik terhadap Wajib Pajak (WP) dan aparat pajak (fiskus) maka sistim self assesment patut dipertimbangkan kembali menjadi official assesment sehingga akan menaikkan penerimaan pajak secara signifikan. Penulis hanya mengajukan pemikiran tinjauan literatur yang terkait dengan sistem pemungutan pajak yang berlaku sejak tahun 1984 dari official assesment ke self assesment.
Kelemahan utama dari sistem self assesment selama ini adalah ketidak mampuan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk melakukan crosscek terhadap semua arsip/catatan WP akibat tidak adanya akses langsung ke pihak ketiga seperti perbankan dan instansi lainnya. Sehingga DJP dalam setiap pemeriksaan pajak bertumpu kepada catatan/dokumen yang dilaporkan oleh WP sesuai angka yang tercatat di dalam laporan keuangan yang dilampirkan di Surat Pemberitahuan tahunan ( SPT). Ditambah dengan keterbatasan jumlah tim pemeriksa pajak yang sekarang berjumlah sekitar 2300 orang dari jumlah ideal 7000 untuk menjangkau sekitar 1,5 juta WP yang aktif sehingga WP yang tidak terperiksa selama 10 tahun akan bebas atau daluwarsa dari pengenaan pajak atau dianggap telah sesuai dengan yang dilaporkan oleh WP.
Realita dari pengecekan yang dilakukan oleh DJP nyaris berkutat pada pemeriksaan mandatori yaitu atas SPT WP yang menyatakan lebih bayar dan rugi sementara untuk pelaporan lainnya hampir luput dari pemeriksaan. Ada benarnya sinyalemen dari BPK bahwa SPT WP yang dilaporkan berdasarkan sistim self assesment tanpa diiringi pemeriksaan yang objektif dan independen maka kemungkinan pelaporan pajak understated dari yang seharusnya.

Kepatuhan Pajak yang semu
Sejak reformasi perpajakan tahun 1984 dari penetapan jumlah pajak terutang oleh aparat pajak menjadi penetapan sendiri, menghitung dan melaporkan oleh WP yang dinamai sistem self assesment maka harapan pemerintah untuk tercapinya peningkatan kepatuhan pajak (tax compliance) dari WP secara signifikan masih sulit terlaksana. Terbukti dari hasil pemeriksaan DJP atas SPT WP yang menimbulkan tunggakan atau tagihan pajak berupa Surat ketetapan Pajak (SKP) kurang bayar yang dilunasi atau digugat ke Pengadilan Pajak merupakan indikator masih rendahnya tingkat kepatuhan pajak dari WP.
Walau penerimaan pajak setiap tahun anggaran selalu meningkat namun indikator tax ratio yaitu perbandingan antara penerimaan pajak suatu negara dan total pendapatan domestik bruto yang masih berkisar 12 % lebih rendah dengan negara-negara kawasan ASEAN di angka 17 % menunjukkan bahwa masih terdapat tax potential gap yang perlu digali. Dengan tingkat kepatuhan terhadap peraturan UU Pajak secara sukarela yang measih rendah akan sulit mengharap tercapainya peningkatan penerimaan pajak secara signifikan.
Apakah sistem pemungutan pajak yang kurang tepat selama ini? Atau memang aparat pajak tidak bekerja dengan optimal? Sistem pemungutan pajak berdasar self assesment akan optimal apabila terukur dari peningkatan tax ratio. Indikator pengujian DJP atas pemenuhan kewajiban pajak dari SPT WP terlihat dari hasil pelaksanaan audit pajak yang jumlahnya relatif rendah kl 1, 2 % dari jumlah WP yang melaporkan SPT setiap tahun.
Sebagai contoh empiris meningkatnya kepatuhan WP adalah dari pelaksanaan sistem witholding pemotongan dan pemungutan atas PPh final yang telah diberlakukan seperti pengalihan harta/ bangunan, transaksi saham di bursa efek, Namun tidak diikuti pemotongan dan pemungutan atas PPh pasal 23 yang tidak bersifat final tetapi dikreditkan di akhir tahun. Artinya tingkat kepatuhan WP seolah-olah bersifat semu karena semata-mata didasarkan by system dan tidak terhindarkan oleh pelaku bisnis.
Perlu diupayakan secara berkesinambungan pendekatan kepada WP yang tingkat kepatuhan pemenuhan kewajiba pajak rendah melalui perhatian khusus dari aparat pajak membimbing WP dalam menyusun laporan SPTnya. Konsekuensinya dibutuhkan kecukupan tenaga DJP yang profesional dan adanya penjabaran dan intrepretasi yang jelas dari ketentuan perpajakan yang ada.

Modifikasi sistem self assesment
Prioritas utama yang hendak dicapai dari penerapan suatu sistem pemungutan pajak adalah upaya untuk meningkatkan tax ratio yang berkorelasi meningkatkan penerimaan Negara dari sektor perpajakan. Tercapinya penerimaan pajak yang tinggi akan mendorong penurunan ketergantungan pemerintah kepada sumber pembiayaan dari utang domestik dan utang luar negeri.
Kembali ke sistem official assesment adalah setback yang tidak manjadikan WP meningkat kepatuhannya. Yang akan terjadi adalah penumpukan pembayaran pajak menunggu penetapan final oleh aparat pajak. Perlu dipahami bahwa sistem ini cocok diterapkan untuk negara dengan jumlah WP relatif kecil dan diiringi kemampuan aparat pajak dalam pelaksanaan penghitngan pajak.
Lebih baik adalah membuat penggolongan WP menurut skala usaha seperti yang telah dilakukan oleh DJP dewasa ini yaitu memasukkan dalam skala besar, menengah dan kecil dalam pengawasan dan pembinaan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) WP Besar, Madya dan Pratama. Pemberlakuan sistem self assesment secara murni diterapkan kepada penghitungan,pembayaran dan pelaporan kepada semua WP dengan modifikasi pengawasan dan pelayanan secara intens kepada WP skala kecil di KPP Pratama.
Bentuk modifikasi sistim pemungutan pajak dilakukan melalui pendekatan secara parsial kepada WP yang dipilih secara acak sebelum masa akhir penyampaian SPT akhir tahun. Melalui konseling dan penyuluhan secara terbuka akan menjadikan WP semakin paham dalam mengisi sendiri, menghitung beban pajak dan membayar sendiri sesuai kondisi usaha yang sebenarnya.
Konsekuensi pengecekan oleh DJP yang mengarah ke post audited yaitu masa setelah pelaporan SPT oleh WP maka sebaiknya masa daluwarsa dihilangkan atau minmal ditambah dari 10 tahun menjadi 20 tahun seperti yang terjadi di Inggris.
Satu hal yang perlu dipahami bahwa tanpa diiringi dengan rasa kepercayaan dan kesadaran sendiri akan manfaat pajak yang dibayarkan ke Negara maka sebaik apapun sistim pemungutan pajak akan sia-sia.
Pilihan sistem pemungutan pajak antara self assesment dan official assesment seharusnya didisain untuk:
(1) Mengoptimalkan peningkatan penerimaan pendapatan Negara untuk membiayai pengeluaran publik.
(2) Menjadi stimulus yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan investasi asing di Indonesia.
(3) Mencerminkan prinsip keadilan pajak (equity) yaitu adanya kesamaan pemajakan atas jenis penghasilan wp. Pembebanan pajak adil apabila setiap wp menyumbangkan suatu jumlah untuk dipakai guna pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya dan manfaat yang diterima dari pemerintah.
(4) Pelaksanaan pemungutan yang efisien dan sederhana sehingga memudahkan bagi wp dalam pemenuhan kewajiban dan kepatuhan pajak.
(5) Membuka ruang seluas-luasnya bagi auditor pajak baik dari internal DJP dan eksternal untuk melakukan investigasi atas laporan SPT WP. Ketidak lengkapan informasi seperti yang dilaporkan oleh WP yang dikenakan pajak final akan menyulitkan auditor pajak melakukan penelusuran atas laporan wp.
Modifikasi sistem pemungutan pajak yang dipilih sebaiknya tetap mempertahankan sistem berdasarkan self assesment namun mengarahkan supaya pajak diterima lebih dini secara sistematis tanpa menunda ke akhir masa setiap tahun. Melalui perluasan basis pemungutan pajak secara dini dalam pemungutan/pemotongan yang dikenal sebagai witholding tetapi tidak mengarahkan menjadi pajak final melainkan wajib diperhitungkan pada akhir tahun akan menjadi sumber informasi akurat dalam mengevaluasi tingkat kepatuhan pajak.
Pilihan untuk menggugat kembali sistem pemungutan pajak yang telah dibangun berdasarkan self assesment sejak tahun 1984 hingga sekarang harus didasarkan argumen dan arah yang jelas. Harus ditonjolkan aspek implikasi yang mendorong peningkatan kemandirian bangsa dalam mengatur rumah tangga penerimaan dan pengeluaran yang bersumber dari penerimaan pajak. Upaya coba-coba yang bersifat trial and error akan membuat inkonsistensi dan butuh waktu lama dalam penyesuaian. (Isi adlah pendapat (opini ) pribadi Arles Ompusunggu)

Senin, 08 Desember 2008

Tujuan Perencanaan Pajak: 1

Mengapa manajer harus mengetahui prinsip perencanaan pajak?

Perpajakan sangat penting untuk diketahui tetapi sulit untuk dipelajari. Dengan menguasai prinsip dasar perpajakan dan aplikasi dalam usaha akan menghasilkan keputusan bisnis yang lebih baik. Ada dua hal faktor yang memotivasi manajer untuk berusaha mengurangi beban pajak bagi organisassi/perusahaan:
1 Rincian konsep pemajakan sangat komplek sehingga tidak mudah untuk memahami secara sporadis.
3 Biaya untuk kelengkapan adminsitrasi pajak (seperti pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) Masa/ Tahunan, biaya konsultasi pajak adalah signifikan.
Bagi banyak orang selalu berfikir bahwa dengan memperkecil beban pajak maka tujuan perencanaan pajak sudah berhasil. Hali ini tidak sepenuhnya benar karena memandang bahwa beban pajak semata-mata dikenakan atas keuntungan usaha dan atas kekayaan wajib pajak. Sebaiknya manajer juga memperhitungkan keuntungan dari nilai tunai uang (time value of money) seperti menunda pembayaran pajak dibelakang hari atau mengenakan tarif pajak yang berbeda (tax rate arbitrage) melalui skema harga transfer (transfer price).
Perencanaan pajak mencakup pemahaman dan implementasi dari berbagai strategi yang dapat meminimisir jumlah beban pajak dalam beberapa periode. Dengan perencanaan pajak yang baik maka akan menjadi sumber bagi penyediaan modal kerja perusahaan.
Ruang lingkup perencanaan pajak adalah:
1 Upaya legal untuk menghemat beban pajak dengan memanfaatkan hal-hal yang belum diatur ( loopholes) berbagai metoda :
- maximizing tax deductable yang diperbolehkan undang- undang
- legal standing of corporate entity: mencari bentuk usaha yang tepat sperti CV,
__________________

1. Karayan ,John,E.,et.al, Strategic Corporate Tax Planning, ,Introduction, John Wiley and Son, 2002


PT dengan tujuan menghemat pajak
- melakukan konglomerasi usaha : vertical and horizontal
- memecah satu unit usaha menjadi beberapa perusahaan
- Tax deferred income ( menunda pengakuan penghasilan)
2 Proses mengorganisasi usaha WP atau kelompok wp sedemikian rupa sehingga utang pajaknya baik PPh dan pajak-pajak lainya dalam posisi minimal sepanjang dimungkinkan oleh ketentuan UU Pajak
3 Proses yang mendeteksi cacat teoretis dari ketentuan UU Pajak untuk diolah dan ditemukan cara penghindaran pajak yang dapat menghemat pembayaran pajak.
Contoh: Secara teoretis suatu penghasilan telah diperoleh saat timbulnya kenaikanharga suatu stok barang. Namun dari aspek UU Pajak dan aspek akuntansi baru diakui saat stok tersebut dipindahtangankan . Walau kenaikan harga dapat dihitung secara objektif namun tidak disertai diperolehnya arus uang tunai maka tidak ada pajak yang terutang.

Strategi umum perencanaan pajak
Ada empat strategi umum untuk menghemat beban pajak sebagaimana disampaikan oleh Karayan.,et.al (2002) yaitu:
1 Creation, meliputi merencanakan keuntungan subsidi pajak dengan memindahkan operasi utama perusahaan ke negara yang menerapkan tarif PPh yang lebih rendah. Misalnya pengusaha TPT tekstil orientasi ekspor memindahkan aktivitas opersi utama dari Indonesia ke Vietnam yang menerapkan lapisan tarif PPh lebih rendah dari Indonesia.
2 Conversion, mengubah operasional usaha sehingga menghasilkan kategori jenis penghasilan yang menguntungkan dari segi pemajakan.Contoh: Dengan melakukan iklan penjualan persediaan yang mendatangkan penghasilan utama (ordinary income) dan dapat dikenakan lapisan tarif pajak tertinggi. Sementara hasil iklan adalah meningkatkan imej masyarakat kepada nilai perusahaan yang dapat menambah nilai good will perusahaan. Good will perusahaan tidak dikenakan pajak kecuali telah terjual dan terkena lapisan tarif rendah atas PPh atas Capital Gain.
3 Shifting, meliputi teknik menggeser jumlah beban pajak (tax base) ke periode akuntansi – pajak yang lebih menguntungkan. Contoh: Percepatan penyusutan aktiva dari metode Garis Lurus menjadi Saldo menurun akan menjadikan beban penyusutan sebagai pengurang penghasilan bruto lebih besar di awal periode sehingga dapat menunda pembayaran pajak hingga periode yang akan datang.
4 Splitting, dengan menyebarkan dasar pengenaan pajak diantara beberapa wajib pajak sehingga didapat lapisan tarif pajak yangberbea. Contoh: Dengan mengubah bentuk usaha dari perorangan ( OP) menjadi badan hukum (WP Badan) dimana jika OP mempunyai penghasilan kena pajak Rp 200 juta kemudian melalui WP Badan membayar gaji sebesar Rp 150 juta ke pemilik maka akan menghemat pajak sebesar selisih tarif PPh OP dan Badan dari penghasilan kena pajak setiap tahun ( Rp 50 juta x elisih tarif pajak ). (disarikan secara bebas oleh Arles Ompusunggu).

Rabu, 03 Desember 2008

Sumbangan kepada Parpol dan kewajiban NPWP

Ketatnya likuiditas uang kas disemua sektor usaha akibat dampak krisis keuangan global diyakini akan berpengaruh secara langsung kepada usaha partai politik peserta Pemilu tahun 2009 dalam menggalang dana (fund raising) agar eksis dalam kancah perjalanan kampanye menuju kemenangan. Sumber dana utama partai tentu diharapkan dipasok oleh anggota dan simpatisan yang diwujudkan dalam bentuk partisipasi dana sumbangan baik dengan imbalan dan tanpa imbalan langsung bagi si penyumbang.
Ditengah isu yang berkembang ditengah masyarakat terkait rencana Komite Pemilihan Umum (KPU) dalam Rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang Pedoman Pencatatan dan Pelaporan Dana Kampanye, yang salah satunya mengatur kewajiban menyertakan nomor pokok wajib pajak atau NPWP bagi setiap penyumpang dana kampanye, menimbulkan pro dan kontra di kalangan partai politik. Perlu kiranya dicermati apakah usulan pencantuman NPWP si penyumbang berdampak langsung secara negatif bagi kelangsungan hidup partai politik peserta pemilu 2009?.
Usulan Direktur Jenderal Pajak tentang batas penyumbang dana kampanye di atas Rp 20 juta wajib menyertakan NPWP karena batas penghasilan bebas pajak untuk 2009 sebesar Rp 15,84 juta tentu manjadi pertimbangan juga bagi KPU. Walau anggota Komisi II DPR, Ferry Mursyidan Baldan (Fraksi Partai Golongan Karya, Jawa Barat II), di Jakarta, Senin (1/12/2008), mengaku keberatan aturan penyertaan NPWP diwajibkan bagi penyumbang kampanye karena akan menghambat penyumbang yang tidak memiliki NPWP.
Harusnya para pihak yang terkait dalam proses pemilu legislatif dan pemilu presiden Indonesia tahun 2009 bisa mencontoh proses kemenangan presiden terpilih Amerika Serikat Barrack Obama yang secara terbuka dan transparan mengumumkan nama-nama penyumbang dalam kampanyenya tak terkecuali saudara tirinya yang bermasalah dengan imigrasi Amerika Serikat yang dikembalikan sumbangannya oleh Partai Demokrat. Bahkan menurut Dieter Roth seorang pakar Pemilu dari Jerman menegaskan bahwa Komite Pemilihan Umum nya Jerman mewajibkan dan mengumumkan setiap penyumbang diatas 2000 euro dan bagaimana caranya sipenyumbang memperoleh dana tersebut. (Jawa Pos 2 Desember 2008).

Deductable dan Taxable

Prinsip utama yang menjadi acuan dalam proses pemberian sumbangan dari individu dan badan usaha ke partai politik adalah pembebanan sumbangan sebagai biaya yang mengurangi pajak terutang bagi penyumbang dan objek kena pajak bagi si penerima sumbangan sebagaimana diatur lebih lanjut dalam pasal 4 dan pasal 6 Undang-undanhg Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UUPPh 2008).Untuk dapat menerapkan prinsip dasar tersebut tentu kedua pihak harus memenuhi syarat formal sebagai subjek pajak yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sesuai pasal 1 ayat (1) butir 6 dan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP 2007).
Pertanyanannya apakah si penerima sumbangan dalam hal ini Partai Politik sendiri sudah terdaftar sebagai Wajib Pajak sehingga mempunyai syarat pokok untuk menerima sumbangan dari partisannya? Tentu KPU sudah mengantisipasi karena peserta pemilu 2009 hanya sebanyak 44 parpol yang tidak sulit untuk menerapkan syarat NPWP. Sudah jelas bahwa Parpol termasuk subjek pajak badan sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat 1 huruf b UU PPh 2008 terutama dalam penjelasan. Para pengurus parpol mungkin belum melek pajak apalagi diwajibkan untuk mengakui sebagai penghasilan atas penerimaan sumbangan tersebut.
Dengan menerapkan prinsip akuntabilitas dan transparansi maka Parpol akan mulai dengan cermat melakukan pencatatan dan pembukuan atas transaksi penerimaan sumbangan dari partisannya. Di satu sisi juga untuk mempertanggungjawabakan kepada publik dan Negara juga memudahkan dalam menghitung kewajiban pajak terutang pasca periode Pemilu tahun 2009.
Bagi si penyumbang atau donor menjadi penting alasan pencantuman NPWP karena akan memudahkan untuk membebankan sebagai unsur pengurang penghasilan bruto. Hanya sampai sekarang UU PPh 2008 belum memberi ruang atau peluang bagi penyumbang untuk dapat membebankan pemberian dana kepada Parpol peserta Pemilu 2009 sebagai biaya usaha yang dapat mengurangi pajak terutang. Tentu ketentuan pencantuman NPWP dari KPU akan menjadi isyarat menurunnya partisipasi masayarakat mendukung kegiatan partai politik.
Bagi penyumbang yang telah dengan rela menyisihkan dana dari sisa penghasilan setelah kena pajak untuk dialkokasikan dalam sumbangan kepada Parpol tidak menjadi masalah. Pengusaha yang secara terbuka mendeklarasikan sumbangan yang diberikan ke Parpol walupun non deductable karena dikoreksi oleh Ditjen Pajak akan menganggap bahwa arah pemberian sumbangan akan dapat menjadikan perusahaan sebagai pintu untuk mengenalkan ke publik. Pembebanan sumbangan akan mengurangi sisa Laba di tahan yang akan diterima oleh pemegang saham sebagai dividen.
Penyumbang perorangan yang diindikasikan sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi dan wajib ber- NPWP akan berpikir lebih teliti sebelum mengelontorkan dana sumbangan ke parpol. Terutama para caleg yang telah terdaftar di KPU semestinya ditelisik lebih dini apakah telah memenuhi syarat sebagai wajib pajak subjektif yang harus memiliki NPWP karena telah lebih dulu menyumbang dana ke parpol yang mencalonkannya.
Individu yang menjadi harapan utama untuk menyumbang parpol dihadapkan pada pilihan antara melaporkan secara transparan uang sumbangan di Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT PPh) dan memilih tidak melaporkan alias menghindar dari kewajiban memiliki NPWP. Secara logika akal sehat bahwa individu yang akan menyumbang adalah yang telah memiliki tingkat penghasilan melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp 15.840.000 selama setahun sehingga layak untuk memiliki NPWP.
Atas sumbangan perorangan yang diberikan tidak menjadi soal walaupun non deductable karena tidak perlu melakukan pencatatan kecuali yang menyelenggarakan pembukuan alias sebagai pengusaha tidak berbentuk badan hukum. Kewajiban memiliki NPWP tidak perlu menjadai momok bagi penyumbang karena manfaat memiliki NPWP bukan semata-mata untuk kepentingan Pemilu 2009 melainkan manfaat lebih luas seperti keringanan pembebasan fiskal LN bagi penumpang ke LN yang telah meiliki NPWP mulai Januari 2009.

Menyiasati pemberian sumbangan
Bagi pemberi sumbangan dana ke parpol berarti akan mendapat perlakuan yang non deductable dari Ditjen Pajak yang melakukan koreksi atas SPT yang membebankan dana sumbangan dalam laporan keuangan yang dilampirkn dalam SPT tahun 2009. Perlu ditelaah jenis sumbangan apa saja yang diperbolehkan dalam UU PPh 2008. Terdapat 5 jenis sumbangan yang diperbolehkan yaitu: (1) sumbangan dalam rangka penangggulangan bencana alam nasional; (2) sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia; (3) sumbangan dalam rangka pembangunan infrastruktur soial yang dikenal dengan Corporate Social Responsibiliy(CSR); (4) sumbangan dalam rangka pembangunan fasilitas pendidikan; dan (5) sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga.
Penyumbang sebaiknya menyiasati dengan melakukan perencanaan pajak atas pemberian sumbangan ke Parpol. Misalnya saja dengan melakukan kemasan acara yang bernuansa CSR oleh perusahaan yang secara tidak langsung berafiliasi ke Parpol tertentu maka akan tertolong dalam membebankan biaya sumbangan tersebut. Apakah pengurus parpol mau terlibat dalam kegiatan seperti ini masih menjadi tanda tanya. Penerima sumbangan melalui elit partai tentu menginginkan penerimaan berupa fresh money untuk mengalokasikan sendiri oleh penggunaan dana bagi kepentingan partai yang tidak mengenal lagi pengikut setia alias massa mengambang.
Sebaiknya para petinggi parpol mau mengakomodir kepentingan bersama dari pihak penyumbang yang ingin juga memposisikan perusahaan untuk lebih dikenal oleh publik sehingga tidak ada keraguan untuk memberikan sumbangan. Tentu tidak bisa diharapkan adanya kebijakan tersendiri dari Ditjen Pajak hal perlakuan pakjak atas pemberian sumbangan dana ke parpol karena sudah diatur dalam UU PPh 2008. Kendala dana yang menjadi momok bagi parpol sebagiknya diantisipasi melalui pendanaan sendiri sebagai konsekuensi mendirikan parpol yang akan merebut simpati dan suara rakyat sebagai gerbang ke pintu kekuasaan.
Polemik seputar kewajiban memiliki NPWP saat menyumbang ke parpol tidak perlu diperdebatkan. Biarkan saja masyarakat memilih apakah menyumbang atau tidak dengan konsekuensi yang sudah jelas dari sisi aturan pajak tanpa kekhawatiran diteliti lebih dalam oleh aparat pajak atas pemberian sumbangan tersebut. Parpol yang mandiri tidak akan akan merasakan kendala alias survive tanpa mengharapkan sumbangan donor. Bagi Parpol yang belum siap mendanai secara mandiri tentu akan mengalami seleksi alam karena memang untuk mendapat kekuasaaan tidak bisa mengandalkan tangan kosong melainkan harus memiliki kapital yang memadai sehingga terhindar dari tindakan yang koruptif saat terpilih mengemban kepercayaan rakyat. (Opini ini hanya pendapat pribadi saya, Arles Ompusunggu)