Senin, 30 Maret 2009

Peran Undang-undang Perpajakan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi

Oleh
Dr. ARLES OMPUSUNGGU,M.Si.,Ak


Pendahuluan
Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception Index (CPI) yang dikeluarkan oleh Transparency International beberapa waktu lalu menempatkan Indonesia pada posisi 126 dari 180 negara yang disurvey. CPI Indonesia naik 0,3 point dari 2,3 pada tahun 2007 menjadi 2,6 pada tahun 2008. Kenaikan point ini menaikkan posisi Indonesia secara cukup signifikan dari posisi 143 pada tahun 2007.
Kita patut berbangga atas hal ini, tetapi sekaligus sedih karena negara-negara semacam Samoa, Tunisia, Ghana, Kolombia, Gabon, Guatemala di atas kita. Bahkan negara serumpun, Singapura dan Malaysia telah jauh meninggalkan Indonesia.
Ibarat sebuah penyakit kronis dari sebuah masyarakat nampaknya perilaku koruptif belum bisa hilang dari segala aspek kehidupan kita.Korupsi berasal dari bahasa Inggris, yaitu corrupt, yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah atau jebol. Istilah "korupsi" juga bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang atau imbalan sehubungan dengan jabatan tanpa ada catatan administrasinya sebagai bukti transaksi.
Berbagai lembaga pemerintah yang ditugaskan untuk mencegah dan memberantas perilaku koruptif aparat terus dibentuk namun secara signifikan belum membuahkan hasil yang memuaskan. Terakhir ada harapan yang diberikan oleh kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi yang dengan tegas membidik para pelaku korupsi mulai dari pejabat, DPR, pengusaha dan masyarakat lainnya hingga masuk bui.
Proses pengungkapan kasus korupsi membutuhkan waktu cukup panjang sejak dimulainya penyidikan sampai dengan pemberkasan hingga penuntutan dan penjatuhan vonis. Jangka waktu tersebut masih harus ditambah lagi masa persidangan yang dapat berlarut-larut. Seandainya jaksa penuntut umum dalam kasus tersebut menang dalam perkara masih dibutuhkan waktu lagi sampai keputusan yang tertinggi mempunyai kekuatan yang tetap. Tujuan utama pemberantasan korupsi untuk menyelamatkan asset Negara yang hilang tidak mampu dihasilkan oleh penguingkapan kasus pidana korupsi oleh aparat hukum. Penerimaan Negara yang berhasil diselamatkan relative kecil sehingga pengungkapan kasus korupsi belum mampu menimbulkan efek jera bagi pelaku dan calon pelaku.
Untuk mengisi kekosongan ruang penyelamatan kerugian Negara dibutuhkan suatu terobosan aturan dan Undang-undang yang mampu mendorong sistem pengungkapan kasus korupsi mengutamakan juga upaya pennggantian kerugian Negara yang hilang. Disinilah peran Undang-Undang Perpajakan dapat memberi kontribusi untuk kepentingan penyelamatan kerugian Negara. Pelaku korupsi dapat dijerat dengan Undang-undang Pajak sebagai pelaku pidana pajak sehingga lebih mudan untuk langkah penyelamatan kerugian Negara.
Lebih penting adalah upaya pencegahan supaya perilaku korupsi tidak terjadi karena penindakan terhadap pelaku korupsi tidak mudah dilaksanakan.

Tujuan dan Manfaat penulisan
Tulisan ini diharapkan mempunyai tujuan yaitu:
(1) Mengurai sejarah korupsi yang terjadi di Indonesia sebagai suatu perilaku budaya yang merusak segala tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara
(1) Membahas lebih lanjut secara telaah akademis mengenai pencegahan dan pemberantasan korupsi melalui penerapan UU Perpajakan baik UU KUP dan UU PPh
(2) Memaparkan perannan UU Perpahjakan terutama UU KUP dan UU PPh dalam mencegah dan memberantas pidana korupsi yang dikaitkan dengan proses penyelesaian kasus pidana pajak.

Manfaat penulisan diharapakan yaitu:
(1) Sebagai masukan bagi peserta terutama mahsiswa dalam mempelajari lebih lanjut permasalahan menyangkut korupsi yang merupakan tindak pidana dan mengetahui peran UU Perpajakan terutamam UU KUP dan UU PPh dalam mencegah dan memberantas pidana pajak dan pidana korupsi.
(2) Sebagai bahan telaah lanjutan bagi peserta dalam melakukan kajian lebih lanjut secara akademis mengenai permasalahan yang menyangkut proses penyelesaian kasus pidana korupsi dan pidana pajak.


Pembahasan materi

Tinjauan singkat sejarah korupsi di Indonesia
Korupsi di Indonesia sudah menjadi kejahatan struktural, kekerasan sebagai hasil interaksi sosial yang berulang dan terpola yang menghambat orang untuk memenuhi kebutuhan dasar. Korupsi sudah seperti mafia. Munculnya organisasi model mafia menunjukkan gejala krisis institusional negara di mana ketidakadilan lebih dominan daripada keadilan. Korupsi merajalela sampai mengaburkan batas antara yang boleh dan dilarang, yang legal dan ilegal, pelanggaran dan norma.
Korupsi sudah mengakar di negeri ini sejak jaman penjajahan Belanda diawali dengan orang pribumi sebagai pejabat menjadi kaya karena mencuri dari perusahaan. Adanya penghapusan jasa upeti kepada para aristrokrat pribumi menjadi gaji merupakan peluang untukmendapat keuntungan lebih banyak. Termasuk perluasan pemungutan pajak menjadi peluang untuk menekan masyarakat membayar lebih dari kewajiban yang seharusnya.
Praktik korupsi berlanjut di jaman kemerdekaan terutama pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo sebagaimana diteliti oleh Herbert Feith dalam Setiawati, Dewi (2008) bahwa korupsi terjadi karena secara umum gaji pegawai pemerintah hanya cukup untuk biaya hidup selama dua minggu. Akibatnya korupsi merajalela dan terjadi di semua lini.
Pemerintah orde lama dalam upaya memberantas korupsi pernah membentuk Undang-undang Keadaan Bahaya yang dikenal dengan Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) diketuai oleh Jend A H Nasution dan anggota Prof M Yamin dan Roeslan Abdul Gani. Para pejabat yang korup mengadakan perlawanan dan bersikeras mempertangungjawabkan ke presiden Soekarno sehingga Paran berakhir tanpa hasil.
Lembaga serupa dibentuk yaitu Operasi Budhi diketuai kembali oleh AH Nasution untuk menyeret pelaku korupsi terutama pejabat perusahaan negara dan lembaga negara ke pengadilan. Walau berhasil menyelamatkan uang negara senilai Rp 11 miliar tetap saja dihentikan tanpa alasan jelas. Kemudian pemerintah membentuk lembaga baru Komando Tertinggi Aparatur Revolusi (KONTAR) diketuai langsung oleh Presiden Soekarno dibantu Soebandrio dan Letjen A Yani dengan hasil yang sangat minim.
Pemberantasan korupsi di era pemerintahan orde baru diawali adanya persepsi negatif presiden Soeharto terhadap peninggalan penmerintahan orde baru dengan membentuk Tim pemberantasan Korupsi (TPK) diketuai Jaksa Agung. Tim ini tidak memberikan kontribusi yang nyata sehingga dibentuklah Komisi Empat beranggotakan tokoh senior bersih yaitu Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo, dan A Tjokroaminoto untuk membersihkan Departemen Agama, BULOG, CV Waringin, PT Mantrust, TELKOM dan PERTAMINA dari jeratan korupsi. Namun Komisi Empat tidak bisa bekerja maksimal karena tidak meiliki landasan hukum formal yang kuat sehingga. dibentuk lagi Operasi tertib (OPSTIB) untuk memberantas korupsi di instansi pemerintah dan BUMN.
Berbagai upaya ditempuh pemerintah untuk mengikis korupsi mulai pembentukan Badan/Institusi pencegahan dan penindakan korupsi seperti Tim Pemberantasan Korupsi, Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat negara (KPKPN), Lembaga Obudsman, Tim Gabungan Pemberantasan Korupsi. Namun karena institusi tersebut menggunakan metode top down dan selalu menekankan kepada aspek penindakan maka tiddak mampu memberi efek jera kepada pelaku korupsi untuk menghentikan tindakan korupsi.
Fenomena di jaman Orde Baru pemerintahan Soeharto korupsi semakin menjadi-jadi di semua tingkat mulai pemrintahan paling rendah hingga presiden. Akibat terburuk korupsi telah merusak tatanan kehidupan masyarakat dengan alasan minimnya gaji pegawai negeri menjadi pemicu praktik korupsi. Bentuk korupsi terjadi mulai dari yang halus hingga kasar seperti penyuapan, pemerasan dan pencurian aset Negara. Sedangkan bentuk halus menurut UNCAC dengan menjanjikan atau menawarkan keuntungan dalam kapasitas tugas dan permohonan langsung atau tidak langsung keuntungan yang tidak semestinya dengan melawan hukum.
Harapan baru untuk pemberantasan korupsi muncul di jaman reformasi pasca kejatuha Soeharto dengan dibentuknya Lembaga Super Body Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan UU No 30 Th 2002 dengan tugas mencegah , menindak atau memberantas korupsi . Nampaknya era pemberantasan korupsi mulai memberikan hasil yang signifikan dengan terseretnya para pelaku korupsi mulai kalangan swasta, pejabat pemerintah, kalangan DPR, Petinggi Parpol, aparat penegak hukum sebagai penindak korupsi sendiri yaitu jaksa, Polri tidak luput dari perkara jeratan korupsi.
Korupsi telah menjadi kejahatan yang amat mengakar dan habitus buruk bangsa. Korupsi menyentuh sendi-sendi kekuasaan sampai sistem peradilan, aparat penegak hukum dan DPR. Semua pihak seolah-olah menjadi terbiasa dengan perilaku korupsi yang telah menyentuh seluruh tingkat kehidupan masyarakat.
Walaupun belum mengarah pemberantasan korupsi hingga ke akar-akarnya setidaknya efek jera yang timbul akan mampu meredam niat masyarakat untuk berbuat tindakan yang koruptif. Upaya penghilangan perilaklu korupsi tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada lembaga KPK dan aparat lain seperti Kejaksaan dan POLRI. Semua lembaga baik institusi kampus, LSM, perusahaan, Pemerintah pusat dan daerah harus bersama masyarakat sepakat untuk mencegah dan menindak terjadinya perilaku korupsi yang telah merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Strategi pemberantasan korupsi selayaknya ditempuh melalui upaya mulai penindakan (represif) dan pencegahan (preventif). Aksi penindakan telah dilaksanakan KPK dengan menangani kasus pidana korupsi dalam satu muara pengadilan Adhoc tindak pidana korupsi. Sedangkan upaya pencegahan diawali dengan pelaporan harta kekayaan penyelenggaran negara (LHPKN), gratifikasi, pendidikan, monitoring dan kampanye sosilaisasi anti korupsi.
Sebagaimana dirilis oleh Masyarakat Transparansi Indonesia (2008), bahwa korupsi telah menyebabkan rusaknya tatanan kehidupan berbangsa yaitu:
1. Korupsi mendelegetimasi proses demokrasi dengan mengurangi kepercayaan publik terhadap proses politik melalui politik uang.
2. Korupsi mendistorsi pengambilan keputusan pada kebijakan publik, membuat tiadanya akuntabilitas publik, dan menafikan the rule of law. Hukum dan birokrasi hanya melayani kepada kekuasaaan dan pemilik modal.
3. Korupsi meniadakan sistim promosi dan hukuman yang berdasarkan kinerja karena hubungan patron-client dan nepotisme.
4. Korupsi mengakibatkan proyek-proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga mengganggu pembangunan yang berkelanjutan.
5. Korupsi mengakibatkan kolapsnya sistem ekonomi karena produk yang tidak kompetitif dan penumpukan beban hutang luar negeri.
Korupsi yang sistemik menyebabkan:
1. Biaya ekonomi tinggi oleh penyimpangan insentif;
2. Biaya politik oleh penjarahan atau penggangsiran terhadap suatu lembaga publik; dan
3. Biaya sosial oleh pembagian kesejahteraan dan pembagian kekuasaan yang tidak semestinya.
Sebagaimana analisis yang dikemukakan oleh Tunakotta (2009: 3), bahwa persepsi mengenai korupsi dapat ditelaah dari sisi permintaan dan penawaran. Sisi permintaan memperlihatkan Corruption Perception Indexatau Indeks Persepsi Korupsi) dan Global Corruption Barometer (GCB) yang dirilis oleh lembaga kredibel Transparency Internacional (TI). Sedangkan sisi penawaran perihal persepsi korupsi dilihat dari peringkat 30 negara pengekspor utama pemberi suap dengan indeks Bribe Payer’s Index
Lebih lanjut dengan acuan CPI Indonesia sebagai indikator korupsi memetakan peringkat Indonesia diantara jumlah negara yang disurvai setiap tahun memperlihatkan skor yang masih berada di kisaran negara-negara peringkat terendah. Peringkat Indonesia yang dirilis terakhir tahun 2008 menurut TI (2009) di nomor 126 untuk negara-negara ASEAN adalah nomor 3 diatas Filipina yang berada di nomor 141 dan Myanmar di nomor 178. Hal yang sama dari indeks GCB tahun 2007 yang dirilis oleh Gallup Internastional menunjukkan bahwa responden Indonesia yang membayar sogok sebanyak 31 % sama dengan Filipina dan jauh diatas Vietnam (14 %) dna malaysia (6 %) dan hanya dibawah kamboja ( 72%).
Hasil GCB memberikan informasi mengenai sektor atau lembaga di Indonesia yang terkorupyaitu tahun 2005 sd. 2007 sebagai berikut:
Tabel 1
HASIL SURVEI TII TENTANG LEMBAGA TERKORUP DI INDONESIA
NO LEMBAGA 2005 2006 2007
1 Partai Politik 4.2 4.1 4.0
2 Parlemen 4.0 4.2 4.1
3 Bisnis/ Sektor swasta 3.5 3.6 3.1
4 Media 2.4 2.8 2.5
5 Tentara 2.9 3.3 3.0
6 LSM 2.4 2.9 2.8
7 Lembaga Keagamaan 2.1 2.3 2.2
8 Lembaga Pendidikan 3.0 3.3 3.0
9 Lembaga Peradilan 3.8 4.2 4.1
10 Pelayanan Kesehatan 2.7 3.0 2.8
11 Polisi 4.0 4.2 4.2
12 Lembaga Perijinan 3.5 3.6 3.8
13 Lembaga Utiitas 3.0 2.9 3.1
14 Otoritas Pajak 3.8 3.4 3.6
Sumber: Hasil Survei Transparency International Indonesia ( TII) September 2008 atas 14 instansi publik terkorup tahun 2005 sd. 2007
Kemudian dari hasil survai yang dilakukan oleh lembaga yang sama (TII) terhadap 15 lembaga pelayanan public Indonesia yang rawan suap selama tahun 2008 menunjukkan hasil sebagai berikut:
Tabel 2
Sektor atau Lembaga terkorup di Indonesia 2008
Sektor/Lembaga
Skor
2008
Kepolisian 4,8
Bea dan Cukai 4,1
Kantor Imigrasi 3,4
DLLAJR 3,3
PEMDA/KOTA 3,3
BPN 3,2
PELINDO 3
PEngadilan 9,3
Depkumham 2,1
Angkasapura 2,1
Kantor Pajak Daerah 1,7
DEPKES 1,5
Kantor Pajak Pusat 1,4
BPOM 1,4
MUI 1,0

Sumber: Hasil Survei Transparency International Indonesia ( TII) September 2008 atas 15 instansi publik rawan suap berdasarkan urutan.

Indeks Persepsi Korupsi memfokuskan definisi korupsi sebagai penyalahgunaan wewenang pada kantor-kantor publik untuk kepentingan pribadi. Nilai IPK dicerminkan oleh pemahaman praktik korupsi yang mencakup survai pelaku bisnis dan pembuat analisa nasional dan para pakar dari dalam maupun luar negara yang disurvai.
Penurunan Indeks Persepsi Korupsi dari Indonsesia yang diikuti penurunan IPK beberapa instansi pelaynan publik menunjukkan bahwa perbuatak korupsi bisa berkurang dengan melakukan upaya perbaikan pelayanan masyarakat. Penting juga diuapayakan penerapan transparansi dan konsistensi peraturan perundan-undangan untuk menciptakan suatu pelayanan yang efisien dengan menerapkan prinsi-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik yaitu good corporate governance (gcg) secara berkesinambungan.
Prinsip pelaksanaan gcg sebagaimana disarikan oleh Setyawati, Deni (2008) ditopang oleh tiga pilar yang bersinergi untuk mencapai suatu kepatuhan secara sukarela yaitu pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Pemerintah yang dikuasakan oleh rakyat untuk membuat aturan bersama parlemen seyogianya harus menciptakan perundang-undangan yang dapat menunjang dunia usaha dan secara konsisten menerapkan penegakan aturan (law enforcement). Dunia usaha selaku pelaku pasar harus berperanm mencegah terjadinya korupsi,kolusi dan nepotisme di setiap pelaksanaan urusan bisnis baik sesama kalangan swasta dan dengan pemerintah. Masyarakat selaku pihak yang menggunakan jasa perusahan dan mematuhi perundang-undangan harus menunjukkan kepedulian berupa kontrol sosial terhadap penyelenggara negara dan duni usaha.

Landasan hukum dalam UU Pajak dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi
Masalah korupsi yang dittinjau dari pelanggaran UU Perpajakan adalah menggunakan Undang-undang Pajak Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 36 tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (UU KUP). Penentuan apakah suatu jenis penghasilan merupakan objek pajak diatur UU PPh, sedangkan ketentuan yang mengatur tentang prosedur pemenuhan kewajiban perpajakan beserta sanksinya diatur UU KUP.
Sesuai dengan salah satu tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dari KPK berdasarkan UU No 20 tahun 2001 diantaranya adalah meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi terkait maka dapat dijadikan untuk meneliti ketaatan pemenuhan perpajakan. UU PPh tidak membedakan apakah suatu jenis penghasilan diperoleh secara halal atau tidak. Sepanjang memenuhi kriteria Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan yang mengatur tentang definisi "penghasilan", yaitu:
"....setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:..."
Sebagaimana ringkasan beberapa modus operandi tindak pidana korupsi yang sering muncul menurut Tuanakotta (2009: 14) dan Rohim (2008:20) berasal dari 7 (enam) perilaku di masyarakat yaitu:
1.Pemberian suap-menyuap/sogok
2.Penggelapan dalam jabatan
3.Pemalsuan
4.Pemerasan
5.Perbuatan curang
6.Benturan kepentingan/Nepotismo
7.Penerimaan gratifikasi
Pidana pajak yang telah disidangkan dipengadilan umum menurut Rohim (2008) berasal dari pemalsuan faktur pajak bermasalah/fiktif yang ditengarai dilakukan oleh wajib pajak dan atau bekerja sama dengan konsultan pajak dan atau dengan oknum di lingkungan Ditjen Pajak sendiri.
Pada dasarnya timbulnya kasus korupsi bisa dicegah melalui adanya transparansi dalam dokumen pembukuan preusan. Sesuai dengan konvensi yang ditetapkan oleh Badan Anti Korupsi PBB atau United Nations Convention Against Corruption ( UNCAC) sebagaimana diringkas oleh Setyawati (2008: 10) bahwa pembukuan dan laboran keuangan perusahaan berperan penting dalam upaya pencegahan terjadinya tindakan korupsi di perusahaan. Indikator yang dapat menjadi petunjuk adalah:
(1) Adanya catatan-catatn d iluar pembukuan perusahaan
(2) Adanya transaksi diluir pembukuan dan tidak teridentifikasi dengan jelas
(3) Pencatatan pengeluaran fiktif seolah-olah ada
(4) Pencatatan kewajiban (utang) yang fiktif tanpa disertai tujuan yang benar
(5) Penggunaan dokumen pembukuan yang palsu
(6) Pemusnahan dengan sengaja dokumen pembukuan yang lebih awal dari yang ditentukan olehketentuan Undang-undang (hukum).
Pada dasarnya, dari sudut pandang peraturan perundang-undangan perpajakan, orang yang korupsi dapat dijerat melalui pembuktian bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana fiskal. Permasalahan utama adalah bagaimana menerapkan ketentuan UU Perpajakan supaya uang hasil korupsi tersebut dapat menjadi sumber penerimaan Negara.
Melalui koordinasi yang baik diantara aparat penegak hukum baik KPK, Kejaksan, POLRI dengan Ditjen Pajak dapat dicapai suatu mekanisme penanganan kasus pidana korupsi yang bernuansa pidana pajak. Begitu kasus korupsi yang menyangkut subjek pajak baik orang pribadi maupun badan mencuat maka segera diteliti pemenuhan kewajiban perpajakan oleh subjek pajak bersangkutan. Terlebih dahulu Ditjen Pajak meneliti status terdaftar sebagai wajib pajak sehingga mempunyai hak dan kewajiban dari sisi perpajakan.
Apabila wajib pajak misalnya Mr X (perorangan) yang tersangkut kasus pidana korupsi ternyata dari sisi UU Perpajakan terbukti tidak memenuhi kewajiban diantaranya tidak mendaftarkan diri , tidak mengisi SPT atau mengisi SPT tetapi isinya tidak benar makaa dengan segera DJP melalui Penyidik Pegawai Negeri Sipil selaku Penyidik Pajak secara segera bisa menjerat ke dalam kasus pidana pajak tanpa menunggu proses penyelesaian kasus pidana korupsi yang ditanganai KPK.
UU Perpajakan yaitu UU No 28 Tahun 2007 tentang KUP pasal 38, 39 telah memberi ruang yang cukup untuk menjerat kasus pidana pajak dengan ancaman penjara maksimal enam tahun penjara dan denda paling tinggi empat kali jumlah pajak yang terutang. Proses penanganan kasus pidana pajak dapat dilaksanakan secara simultan tanpa menghentikan penagnanan kasus pidana korupsi sehingga pemerintah dapat mempercepat upaya penyelematan keuangan negara yang diperoleh dari kasus pidana pajak.




Gambar 1
Alur proses penentuan perkara korupsi menjadi kasus pidana pajak




















Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3), U KUP, setiap orang pribadi yang tinggal di Indonesia adalah subjek pajak (orang pribadi) dalam negeri. Seorang subjek pajak dalam negeri akan menjadi wajib pajak apabila memperoleh penghasilan melebihi penghasilan-tidak-kena-pajak (PTKP) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang PPh. Otoritas Perpajakan dapat segera menelusuri ketidak sinkronan antara Surat Pemberitahuan Tahunan WP Orang Pribadi yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi dengan sinyalemen kepemilikan dana hasil korupsi yang ditemukan oleh penyidik KPK dan Kejaksaan.
Ditjen Pajak dapat memilih apakah melakukan penyidikan terhadap indikasi ketidak benaran SPT yang dilaporkan oleh terdakwa korupsi yang selanjutnya diarahkan dan disidik dengan ancaman pidana penjara dan mengganti kerugian Negara sesuai pasal 38 dan 39 UU KUP. Sebaliknya dengan alasan kepentingan penerimaan Negara maka kasus penyidikan pidana pajak dapat dihentikan dan dilanjutkan dengan penerbitan Surat ketetapan pajak sebagai indikasi jumlah kerugian Negara.
Walaupun penyelesaian kasus korupsi memakan waktu lama namun disisi lain upaya menagih hasil korupsi yang ditempuh dari penerbitan SKP atas penghasilan koruptor akan lebih mudah untuk diapklikasikan. Aparat pajak dapat membidik sumber uang diperoleh oleh koruptor dan menempatkan sebagai sumber penghasilan yang menjadi objek pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) UU PPh tanpa melihat apakah sumber penghasilan tersebut halal atau hasil korupsi.
Namun upaya menjerat pelaku korupsi ke dalam ranah perpajakan tidak mudah dilaksanakan. Para ahli hukum dan pihak yang berperkara akan memempertahankan penanganan proses peradilan koruptor hingga selesai dalam proses Criminal Justice System mulai peradilan tingkat pertama (PN) hingga proses Peninjauan Kembali (PK) yang memakan waktu lama.
Disinilah diperlukan kearifan berbagai pihak instansi terkait untuk merumuskan pemikiran alternatif penyelesaian kasus korupsi menjadi kasus penagihan dengan SKP sesuai UU Perpajakan. Seyogianya memang apabila kasus pidana korupsi diarahkan menjadi kasus penagihan pajak maka tentu menimbulkan sisi pertanyaan yaitu apakah kasus pidana korupsi dapat serta merta dihapuskan demi penmyelesaian kasus penagihan pajaknya?
UU Tindak Pidana Korupsi sendiri sebagaimana diatur dalam Undang-undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undan-undang Nomor 20 Tahun 2001 mengharuskan kepada terpidana korupsi untuk membayar ganti rugi disamping menjalankan hukuman pidana penjara. Sehingga disinyalir akan memperpanjang kerumitan penanganan pidana korupsi yang dibidik sekaligus dengan pengenaan penagihan pajak dengan Undang-undang Perpajakan.
Persoalannya siapa yang didahulukan untuk tujuan mulia memberantas pidanak korupsi dan upaya mendapatkan penerimaan Negara lebih cepat masuk ke kas Negara dari hasil korupsi yang dilakukan oleh pelaku korupsi. Kasus pidana korupsi sebaiknya tidak diarahkan menjadi kasus pidana pajak karena akan mengalami jalan buntu dalam penyelesaiannya yang bertele-tele dan melelahkan.
Melalui penerapan mekanisme UU Perpajakan yaitu UU KUP dan UU PPh dalam mekanisme sistem perpajakan berdasarkan self assesment sudah cukup untuk menjerat pelaku korupsi ke dalam proses penagihan uatng pajak yang belum dilaporkan. Walupun siterdakwa pidana korupsi belum terdaftar sebagai wajib pajak maka aparat pajak dapat menetapkan secara jabatan apabila ditemukan adanya sumber penghasilan yang telah berjumlah lebih besar dari Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang PPh.

Penyelesaian Kasus Korupsi melalui Penyidikan Pidana Pajak
Penyidikan pidana pajak merupakan upaya terakhir (ultima remedium) dari serangkaian proses penegakan hukum (law enforcement) UU Perpajakan Indonesia yang didasarkan pada filosofi self assessment. Definisi penyidikan pajak sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 31 UU KUP adalah ”serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya”.
Proses penyidikan pidana pajak didahului oleh tindakan pemeriksaan bukti permulaan untuk mendapat bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana dibidang perpajakan. Sebagai rangkaian dari penegakan hukum terlihat bahwa pemeriksaan bukti permulaan merupakan awal penentuan penyelesaian sengketa adminsitrasi pajak menjadi sengketa pidana sebagai mana gambar 2 berikut:
Gambar 2
Alur proses pemeriksaan bukti permulaan
sumber: Per Menkeu no: 202/PMK.03/2007 tg 28 des 2007

Suatu kasus pelanggaran yang memenuhi kriteria pelanggaran pidana pajak sesuai pasal 38 dan 39 UU KUP baru bisa dilanjutkan ke tingkat penyidikan apabila tersangka tidak mampu membayar jumlah taksiran kerugian negara berikut sanksi 4 kali lipat sebagaimanan dimaksud dalam pasal 44 B UU KUP. Terlihat bahwa tujuan penegakan hokum termasuk penyidikan pajak seolah-olah dikesampingkan apabila demi tujuan penerimaan Negara yang dapat dihentikan.

Gambar 3
Alur penyidikan pidana pajak













Gambar4
Pengertian Penyidikan Pidana Pajak


Demikian pula apabila proses penyidikan pidana pajak tidak dilanjutkan ke proses penuntutan di pengadilan umum dengan alasan tertentu dapat dilakukan penghentian penyidikan. Alasan penghentian penyidikan pidana pajak adalah:
1 Berdasarkan pertimbangan penyidik pajak yaitu:
A Tidak terdapat cukup bukti untuk dilakukan penungtutan
B Peristiwa bukan tindak pidana
C Peristiwanya telah daluwarsa ( lampau 10 tahun sejak terutangnya masa pajak)
D Tersangka meninggal dunia
Terhadap kasus kasus nomor a dan b dilanjutkan dengan penerbitan Surat ketetapan Pajak dengan pengenaan sanksi administrasi sebesar paling tinggi empat kali pokok pajak. Sedangkan kasus c dan d ditindak lanjuti oleh Kepala Kanwil DJP dengan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan.
2 Berdasarkan permohonan WP atau kuasa sesuai ketentuan pasal 44 B UU KUP sepanjang belum dilimpahkan ke pengadilan umumsetelah membayar atau melunasi terlebih dahulu pokok pajak berikut denda empat kali lipat tanpa menunggu diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak. Kemudian Dirjen Pajak mengusulkan ke Menteri Keuangan untuk meneruskan ke Jaksa Agung yang menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan.
Tentu muncul perbedaan penanganan antara kasus pidana pajak dan kasus pidana korupsi perihal penghentian penyidikan. Dalam proses penghentian penyidikan pajak secara otomatis akan menhilangkan tuntutan hokum setelah WP melunasi tuntutan kerugian Negara. Sesuai dengan analisis Burton,Richard dan Ilyas Wirawan (2008:158-159) mempertanyakan kemungkinan terjadinya persepsi yang berbeda dalam mengintreprtetasikan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat apabila kasus pidana pajak serta merta dihentikan setelah adanya pelunasan pokok pajak berikut denda oleh wajib pajak.
Di satu sisi akan terdapat kepastian hukum berupa penyelesaian penagihan pajak melalui UU Perpajakan namun disisi lain akan mengusik rasa keadilan di dalam masyarakat. Sesuai dengan pendapat Prodjodikoro,Wirjono dalam Burton,Richard dan Ilyas Wirawan (2008:159) mengemukakan bahwa tujuan dari hukum pidana termasuk penerapan hukum pidana korupsi adalah untuk memenuhi rasa keadilan. Lebih lanjut diuraikan bahwa penyelesaian tindak pidana dengan hanya membayar atau melunasi denda ditambah sanksi adminsitrasi akan menimbulkan preseden kepada masyarakat untuk menyelesaiakan perkara korupsi dengan penyelesaian sanksi adminsitrasi tanpa menjalanai hukuman penjara.
Pemerintah sepertinnya mementingkan aspek penerimaan Negara sebagai prioritas dalam penanganan kasus pidana pajak walaupun tidak mengesampingkan pengenaan sanksi pidana . Sesuai dengan tujuan hukum menurut pendapat Gustav Radbruch dalam Burton,Richard dan Ilyas Wirawan (2008:160) yaitu mencapai suatu kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Nampaknya hukum pajak lebih dominan menyelesaikan kasus pidana pajak dengan tujuan memberi kepastian dan kemanfaatan yaitu kepastian tercapainya penerimaan Negara dari sektor pajak.
Jelas bahwa UU Perpajakan memberi peluang yang seluas-luasnya kepada otoritas pajak dalam hal ini Dirjen Pajak untuk lebih mengedepankan pengenaan sanksi adminsitrasi dari pada penhgenaan sanksi pidana kepada wajib pajak yang melanggar ketentuan UU Perpajakan. Hukum pajak melalui penerapan UU Perapajakan bukan untuk memenuhi penjara dengan pelanggar UU Pajak melainkan menuju manfaat kepentingan optimalisasi penerimaan Negara.

Penutup/kesimpulan

Langkah-langkah untuk mencegah korupsi yang berkaitan dengan pidana pajak:
1 Tingkatkan kesejehateraan pegawai pemerintah dengan peningkatan pendapatan atau remunerasi karyawan dengan diiringi penegakan didiplin berupa sanksi yang setimpal secara konsisten sehingga mengurangi niat pegawai tesebut melakukan perbuatan suap atau korupsi.
2 Harus diberikan akses langsung kepada masyarakat pembayar pajak untuk mengetahui penggunaan pajak yang dilunasi sehingga memotivasi masyarakat untuk membayar pajak dengan benar tanpa berupaya melakuklan pengemplangan pajak.
3 Terapkan prinsip good corporate governance dalam tata kelola pemerintahan dengan memperjelas reward and punishment serta tanggung jawab pekerjaan.
4 Tingkatkan kualitas SDM pegawai pemerintah supaya dapat menjadi motor penggerak roda pembangunan
5 Sinkronisasikan langkah koordinasi antara instansi penegak hukum yang bertugas memberanta korupsi dengan Direktorat jen deral Pajak untuk mengedepankan penyelesaian pengusutan pemenuhan kewajiban perpajakan apabila seseorang atau perusahaan diduga melakukan tindak pidana korupsi.
6 Efektifkan sosialisasi pencegahan korupsi kepada kalangan masyarakat terutama pelajar/mahasiswa untuk dapat mendorong langkah pencegahan korupsi yang lebih baik dari pada penindakan.
Langkah-langkah untuk memberantas/menindak korupsi yang diindikasikan sebagai pidana pajak:
1 Memberlakukan koordinasi berupa penelitian bersama antara Komisi Pemberantasan Korupsi beserta aparat penegak hukum lainnya yang sedang menangani kasus pidana korupsi dan Direktorat jenderal Pajak yaitu kewajiban pemenuhan perpajakan dari tersangka korupsi untuk diteliti dan diarahkan penanganannya menjadi pidana pajak.
2 Mengevaluasi kembali ketentuan hukum penanganan kasus korupsi yang secara bersamaan dilakukan penyidikan kasus pidana pajaknya supaya tidak terjadi dualisme dan kesan penanganan tumpang tindih yang berpotensi mengalami kegagalan dalam pelaksanaannya.
3 Mengedepankan upaya penerimaan Negra dari pengembalian kerugian Negara yang diindikasikan berasal dari tindak pidana pajak dengan menggunakan mekanisme penghentian penyidikan sebelum dilakukan penuntutan oleh jaksa ke pengadilan umum yaitu sesuai pasal 44 B UU KUP.


Referensi
Ilyas,Wirawan B dan Burton,Richard, 2008, Hukum Pajak, Edisi 4, Penerbit Salemba Empat Jakarta
Transparency International Indonesia, 2008, Indeks Persepsi Korupsi 2008,http://Wikipedia.org
Transparency International Indonesia, 2009, Indeks Indonesia naik signifikan, http://www.ti.or.id
Rachmanto Surahmat, Peran UU Perpajakan dalam memberantas korupsi, http://www.addthis.com/bookmark/php
Rohim,SH, 2008, Modus Operando Tindak Pidana Korupsi, Pena Multi Media Depok
Setyawati, Deni, 2008, KPK Pemburu Corruptor, Pustaka Timar Jogyakarta
Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan
Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001
Tunakotta, Theodorus M, 2009, Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, Salemba Empat, Jakarta

Senin, 16 Februari 2009

Kiat pengelolaan pajak tahun berjalan dan pelaporan akhir tahun:

Setelah kita terdaftar sebagai Wajib Pajak baru baik secara jabatan maupun mendaftar secara sukarela maka yang terpikirkan adalah beban untuk pengisian dan pelaporan SPT masa dan SPT Tahunan:
Khusus untuk Wajib Pajak Badan maka berikut adalah bebarapa kiat sukses untuk mengelola kewajiban perpajakan masa dan tahunanL:

Kewajiban Pajak Bagi Wajib Pajak Badan

Kewajiban yang harus dilakukan oleh wajib pajak setelah
terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak dan memiliki NPWP adalah
melakukan pembayaran dan melaporkan pajak yang terutang atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya.

Selain itu, wajib pajak juga memiliki kewajiban untuk
memungut/memotong dan menyetorkan pajak atas penghasilan yang
dibayarkan/ terutang kepada pihak lainnya. Tatacara
pemenuhan kewajiban tersebut diatur dalam undang-undang no 7
tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana terakhir
telah diubah dengan Undang-undang No 17 tahun 2000 beserta
peraturan pelaksanannya.

Selain Pajak Penghasilan, bagi pengusaha yang telah
dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak juga memiliki
kewajiban dibidang PPN dan PPn BM yang ketentuannya diatur
dalam Undang-undang no 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah sebagaimana terakhir
telah diubah dengan UU No 18 tahun 2000 beserta peraturan
pelaksanaannya.

Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak badan setelah
memperoleh NPWP adalah sebagai berikut :

1. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa)

Setelah wajib pajak terdaftar di KPP dan memiliki NPWP, maka
memiliki kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan
Masa/ bulanan ke kantor pelayanan pajak tempat wajib pajak
terdaftar. Jenis SPT Masa yang harus disampaikan oleh wajib
pajak badan terdiri dari :

a. SPT Masa PPh Pasal 25

PPh Pasal 25 merupakan angsuran PPh dalam tahun pajak
berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk
setiap bulan. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 adalah sebesar
Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu, setelah
dikurangi dengan PPh yang telah dipotong/dipungut oleh pihak
lain dan PPh yang terutang/dibayar diluar negeri yang dapat
dikreditkan; dibagi 12 (dua belas)

Bagi wajib pajak yang baru pertama kali memperoleh
penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak
berjalan (Wajib Pajak baru), besarnya Angsuran PPh Pasal 25
dihitung berdasarkan Pajak Penghasilan yang dihitung
berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan neto
sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).

Batas waktu pembayaran PPh pasal 25 adalah setiap tanggal 15
bulan berikutnya. Apabila tanggal 15 jatuh pada hari libur,
maka pembayaran Ph Pasal 25 dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya. Sedangkan batas untuk menyampaikan SPT Masa PPh
Pasal 25 adalah 20 hari setelah berakhirnya masa pajak (tgl
20 bulan berikutnya). Apabila tanggal 20 jatuh pada hari
libur, maka pelaporan harus dilakukan pada hari kerja
sebelumnya. Hari libur meliputi hari libur nasional dan hari-
hari yang ditetapkan sebagai hari cuti bersama oleh
pemerintah.

Surat Setoran Pajak (SSP) PPh Pasal 25, juga merupakan SPT
Masa PPh Pasal 25. SPT Masa PPh Pasal 25 ini, merupakan salah
satu SPT Masa yang wajib disampaikan oleh wajib pajak badan,
meskipun tidak terdapat pembayaran (SPT Nihil). Apabila
Wajib pajak tidak menyampaikan atau terlambat menyampaikan
SPT Masa PPh Pasal 25, maka wajib pajak akan dikenakan sanksi
berupa denda sebear Rp 50.000 untuk satu SPT Masa.

Bagi Wajib Pajak Badan selain yang bergerak dibidang usaha
pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan, apabila
melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan atau
bangunan wajib menyetor PPh yang terutang atas pengalihan hak
atas tanah dan atau bangunan. Besarnya PPh yang terutang
adalah 5% dari nilai tertinggi antara nilai transaksi dengan
nilai NJOP. PPh yang terutang atas transaki pengalihan hak
atas tanah dan atau bangunan merupakan uang muka pajak yang
dapat dikreditkan dalam PPh Badan pada akhir tahun.

b. SPT Masa PPh Pasal 21/26

PPh pasal 21 merupakan PPh yang terutang atas penghasilan
berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan
pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak
orang pribadi. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-unang
PPh, PPh Pasal 21 wajib dipotong, disetor dan dilaporkan oleh
pemotong pajak, yaitu : pemberi kerja, bendaharawan
pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan dan penyelenggara
kegiatan.

Wajib pajak badan selaku pemberi kerja yang membayarkan gaji,
upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama
dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan yang dilakukan oleh waib pajak orang pribadi wajib
menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21. Batas waktu penyetoran
PPh Pasal 21 adalah tanggal 10 bulan berikutnya, namun
apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur maka penyetoran
dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Sedangkan batas
waktu pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 adalah 20 hari setelah
berakhirnya masa pajak (tanggal 20 bulan berikutnya), apabila
tanggal 20 jatuh pada hari libur, maka penyampaian SPT Masa
PPh pasal 21 harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya.

SPT Masa PPh Pasal 21 juga merupakan SPT Masa yang wajib
disampaikan oleh Wajib Pajak Badan meskipun tidak terdapat
penyetoran PPh Pasal 21/26 (SPT Nihil). Apabila Wajib pajak
tidak menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 atau terlambat
menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21, maka akan dikenakan
sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000,- untuk satu SPT Masa.
Ketentuan lebih lanjut tentang Petunjuk pelaksanaan
pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 dan pasal
26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan orang
pribadi diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak No KEP-
545/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000.

c. SPT Masa PPN

Bagi Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak (PKP) diwajibkan untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) dan Pajak atas Penjualan Barang Mewah (PPn BM) serta
menyampaikan SPT Masa PPN. Jatuh tempo penyetoran PPN adalah
setiap tanggal 15 bulan berikutnya, sedangkan batas waktu
penyampaian SPT Masa PPN adalah 20 hari setelah berakhirnya
masa pajak (tgl 20 bulan berikutnya). Seperti halnya
pembayaran PPh Masa, apabila jatuh tempo penyetoran PPN jatuh
pada hari libur, maka penyetoran dapat dilakukan pada hari
kerja berikutnya. Sedangkan untuk pelaporan, apabila batas
waktu pelaporan jatuh pada hari libur maka penyampaian SPT
Masa PPN wajib dilakukan pada hari kerja sebelumnya.

SPT Masa PPN merupakan SPT Masa yang wajib disampaikan oleh
Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena
pajak, meskipun Nihil. Apabila Wajib yang telah dikukuhkan
sebagai pengusaha kena pajak tidak menyampaikan atau
terlambat menyampaikan SPT Masa PPN maka akan dikenakan
sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000 untuk satu SPT Masa.

Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT PPN) adalah sebagai sarana
untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan
jumlah Pajak PPN dan PPn BM yang sebenarnya terutang dan
untuk melaporkan tentang :
• Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
• Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan atau
melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan
oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku;
• Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat
Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan
disetorkannya.

Ketentuan mengenai PPN diatur dalam Undang-undang no 8 tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana terakhir telah
diubah dengan UU No 18 tahun 2000 beserta peraturan
pelaksanaannya.

d. SPT Masa PPh Pasal 23/26

PPh pasal 23 merupakan PPh yang terutang atas penghasilan
yang diterima/diperoleh oleh wajib pajak badan dalam negeri
atau bentuk usaha tetap; yang berupa :
• Deviden
• Bunga
• Royalti
• Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh
pasal 21
• Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta
• Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa
manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain (yg
ditetapkan DJP) selain jasa yang telah dipotong PPh pasal 21.

PPh yang terutang atas penghasilan tersebut (PPh Pasal 23)
wajib dipotong, disetorkan dan dilaporkan oleh pemotong PPh
Pasal 23; yaitu badan pemerintah, subyek pajak badan dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau
perwakilan wajib pajak luar negeri lainnya; yang membayar/
memberikan penghasilan yang merupakan obyek PPh pasal 23.

PPh Pasal 26 merupakan PPh yang terutang atas penghasilan
yang diterima/diperoleh oleh Wajib Pajak Luar Negeri yang
berupa :
g. Deviden;
h. bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan
imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
i. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta;
j. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan;
k. hadiah dan penghargaan;
l. pensiun dan pembayaran berkala lainnya ;

PPh yang terutang atas penghasilan tersebut (PPh Pasal 26)
wajib dipotong, disetorkan dan dilaporkan oleh pemotong PPh
Pasal 26. Pemotong PPh Pasal 26 yaitu badan pemerintah,
subyek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk
usaha tetap atau perwakilan wajib pajak luar negeri lainnya;
yang membayar/memberikan penghasilan yang merupakan obyek PPh
pasal 26.

Batas waktu penyetoran PPh Pasal 23/26 oleh pemotong PPh
adalah tanggal 10 bulan berikutnya, sedangkan batas waktu
penyampaian SPT Masa PPh pasal 23/26 adalah anggal 20 bulan
berikutnya. Apabila tanggal jatuh tempo penyetoran PPh pasal
23/26 jatuh pada hari libur maka penyetoran dapat dilakukan
pada hari kerja berikutnya. Namun apabila tanggal jatuh tempo
pelaporan jatuh pada hari libur, maka laporan harus
disampaikan pada hari kerja sebelumnya.

SPT Masa PPh Pasal 23/26 hanya wajib dilaporkan ke KPP
apabila terdapat pembayaran yang terutang PPh Pasal 23/26.
Dengan demikian tidak terdapat SPT Masa PPh pasal 23/26 Nihil.

e. SPT Masa PPh Final pasal 4 (2)

1) PPh final atas penghasilan yang diterima/diperoleh
oleh wajib pajak sendiri

Bagi Wajib Pajak Badan yang memperoleh penghasilan yang
merupakan obyek PPh final, maka diwajibkan untuk membayar dan
melaporkan PPh final pasal 4 (2) yang terutang atas
penghasilan tersebut.

Jenis penghasilan lain yang merupakan obyek PPh final dan
pembayaran PPh-nya wajib dilakukan sendiri oleh penerima
penghasilan (Wajib pajak Badan) adalah sebagai berikut :

• Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan;

Penghasilan yang diterima/diperoleh oleh WP Badan dari
kegiatan persewaan tanah dan atau bangunan juga merupakan
obyek PPh final pasal 4 (2). Dalam hal penyewa adalah bukan
pemotong pajak, maka PPh yang terutang atas penghasilan dari
transaksi persewaan tanah dan atau bangunan wajib dibayar
sendiri oleh penerima penghasilan. Besarnya PPh yang terutang
atas transaksi ini adalah sebesar 10% dari jumlah bruto nilai
persewaan.

Apabila penyewa adalah pemotong pajak (i.e. WP Badan), maka
pelunasan PPh final atas transaksi ini dilakukan melalui
pemotongan oleh pihak penyewa. Pemotong pajak (penyewa) wajib
memberikan bukti pemotongan (Bukti Potong PPh Final pasal 4
(2)) kepada wajib pajak (penerima penghasilan).

Batas waktu pembayaran PPh Final PS 4 (2) atas transaksi ini
adalah tanggal 15 bulan berikutnya. Sedangkan batas waktu
pelaporan adalah tanggal 20 bulan berikutnya.

• Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;

Apabila pemakai jasa bukan merupakan pemotong PPh, atas
Penghasilan yang diterima/diperoleh oleh WP Badan (yang tidak
memiliki sertifikasi sebagai pengusaha kontruksi menengah
atau besar) dari kegiatan Jasa Konstruksi, PPh yang terutang
atas penghasilan tersebut wajib dibayar sendiri oleh wajib
pajak. Namun apabila pemakai jasa merupakan pemotong pajak,
maka PPh yang terutang atas kegiatan ini pelunasannya
dilakukan melalui pemotongan oleh pemakai jasa. Pemotong
pajak (Pemakai jasa) wajib memberikan bukti potong. Besarnya
PPh final pasal 4 (2) yang terutang atas penghasilan dari
kegiatan jasa konstruksi adalah sbb :

4% (empat persen) daria) Jasa Perencanaan Konstruksi
jumlah bruto;
2% (dua persen) darib) Jasa Pelaksanaan Konstruksi
jumlah bruto;
4% (empat persen) daric) Jasa Pengawasan Konstruksi
jumlah bruto.

2) PPh final atas penghasilan yang dibayarkan/terutang
kepada pihak lain

Wajib pajak badan yang melakukan pembayaran/memberikan
penghasilan tertentu yang pengenaan pajaknya telah diatur
dengan peraturan pemerintah dan dikenakan PPh final
diwajibkan untuk memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh
yang terutang atas penghasilan tersebut ke kantor pajak.
Penghasilan yang pengenaan pajaknya telah diatur dengan
peraturan pemerintah dan dikenakan PPh yang bersifat final
adalah :

• Penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa
efek.
• Penghasilan dari hadiah undian
• Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau
bangunan
• Penghasilan dari bunga deposito dan tabungan serta
diskonto Sertifikat Bank Indonesia.
• Penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan
• Penghasilan dari obligasi yang diperdagangkan di
bursa efek
• Penghasilan dari usaha jasa konstruksi
Apabila terdapat transaksi yang merupakan obyek PPh final,
wajib pajak badan yang melakukan transaksi tersebut wajib
memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh yang terutang.
Pelaporan PPh final dilakukan dengan menggunakan SPT Masa PPh
Final.

SPT Masa PPh Final hanya wajib dilaporkan oleh wajib pajak
badan apabila terdapat transaksi yang berhubungan dengan
obyek PPh final, sehingga tidak ada SPT Masa PPh Final Nihil.

2. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan)

a. SPT Tahunan PPh Badan (SPT 1771)

Setelah berakhirnya tahun pajak, Wajib pajak diwajibkan untuk
menyampaikan SPT Tahunan (SPT Tahunan PPh Badan – SPT 1771).
SPT Tahunan paling lambat disampaikan 4 (tiga) bulan setelah
akhir tahun pajak/tahun buku. ( sanmpai bulan April tahun berikutnya). Misalnya SPT PPh Badan Tahun 2008 masih bias dilaporkan hingga 30 April 2009 dan masih boleh diperpanjang sampai 2 bulan hingga Juni 2009 dengan cukup memberitahukan secara tertulis ke KPP terkait.

Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT Tahunan) bagi Wajib Pajak
adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang
sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :

• Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilaksanakan sendiri dan atau melalui pemotongan atau
pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian
Tahun Pajak;
• Penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan
objek pajak;
• Harta dan kewajiban;

b. SPT Tahunan PPh 21 (SPT 1721)

Dengan berlakunya UU No 36 tahun 2008 tentang PPh yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2009 maka mulai tahun ini perusahan sebagai pemberi kerja tidak diwajibkan lagi ungtuk membuat dan melaporkan SPT PPh Pasal 21 Tahunan. Cukup membuat 1721 A1 masing masing karyawan selanjutnya melaporkan kewajiban perpajakannya di Kantor Pelayanan Pajak domisili yang bersangkutan.
( Disarikan oleh Arles Ompusunggu dari berbagai sumber – Indotaxsolution)