Rabu, 15 September 2010

DEFISIT APBN: MADU ATAU RACUN?

Membengkaknya jumlah utang pemerintah baik domestik dan luar negeri yang telah mencapai Rp 1.680 triliun di tahun 2010 menjadi salah satu indikator rawannya risiko fiskal dalam RAPBN tahun 2011. Bahkan jumlah tersebut masih akan digenjot hingga Rp 1.880 triliun di tahun 2011 guna menambal bolong atau defisit APBN.Apakah ada yang salah membelanjai defisit APBN dengan salah satu sumber dari pembiayaan utang?.Pro dan kontra saling beradu antara pihak yang mendukung dan yang menolak perihal perlunya pelebaran defisit APBN yang utamanya dibiayai dengan utang pemerintah.
Pembelanjaan pemerintah yang dialokasikan untuk keperluan rutin dan proyek pembangunan sejatinya disesuaikan dengan sumber penerimaan dalam anggaran negara. Apa daya pembengkakan rencana pengeluaran dalam RAPBN 2011 yang telah diajukan dalam Nota Keuangan Pemerintah di DPR tanggal 16 Agustus 2010 lalu menjadi pemicu untuk menutupi shortfall penerimaan dengan rencana defisit anggaran. Kisaran rencana defisit sebesar Rp 115,7triliun atau setara 1,7 % dari Produk Domestik Bruto (PDB) sungguh bukan angka yang kecil walau tidak signifikan dibanding defisit Amerika Serikat sebesar 12,3 % dari PDB atau setara US $ 1,7 triliun.
Memang ada harapan bahwa pengalokasian anggaran yang didanai sebagian dari pembiayaan defisit akan mampu mendorong percepatan pembangunan terutama infrastruktur yang sangat mendesak. Andai tercapai pemerataan dan akuntabilitas serta transparansi penggunaan anggaran pemerintah maka kekhawatiran inefisiensi dan kebocoran anggaran menjadi sirna.Sehingga tujuan penyerapan anggaran yang realistis semakin cepat direalisir untuk mampu mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi yang ditarget mencapai 6,3 %.
Permasalahannya tidak sesederhana membalikkan lembaran halaman buku tanpa menghubungkan ke halaman berikutnya. Sebab akar permasalahan muncul dihilir pengguna anggaran yang tidak segiat penyedia sumber penerimaan. Rencana alokasi pembangunan proyek pembangunan yang digagas dengan indah oleh Kementerian dan Lembaga Negara Non Departemen saat pengajuan bujet ke Kementerian Keuangan menjadi gamang saat pelaksanaan. Ruwetnya birokrasi pengadaan proyek dengan kendala persyaratan tender yang jelimet dan rawan risiko membuat pihak pengelola anggaran pembangunan seakan ciut melaksanakan tugas pokoknya.
Kebijakan defisit APBN dan penggunaan anggaran dan belanja negara yang dijalankan pemerintah sebenarnya cukup jitu sebagai bantalan siaga penyediaan dana darurat. Sebab kelangkaan sumber anggaran akibat mismatch penerimaan pajak dengan pengeluaran pemerintah segera dapat ditambal dengan dana yang segera tersedia.Kesinambungan pelaksanaan anggaran selalu terjaga meski terkesan seperti menyelesaikan masalah dengan risiko beban utang yang semakin meningkat.
Oportunitas
Kalangan yang pro terhadap pembelanjaan defisit mendukung dengan gigih penambahan anggaran belanja Negara melalui penambahan defisit APBN. Alasan utamanya adalah timing penerbitan utang pemerintah andai tidak ada sumber lain seperti penjualan asset Negara, dividen BUMN. Dengan kondisi country risk Indonesia yang semakin baik yang diyakini tahun depan mencapai investment grade dari lembaga peringkat Standar and Poor’s dan tingkat bunga global masih rendah merupakan oportunitas mendapatkan sumber pendanaan utang baik domestik maupun global.
Harapan untuk mengejar tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3 % dapat dicapai dengan strategi percepatan pembiayaan termasuk penigkatan porsi defisit. Apabila sinkron dengan penelitian di 103 negara berkembang oleh Gupta (2007) yang menyimpulakn bahwa pendanaan anggaran pemerintah melalui pinjaman tanpa hibah akan mampu mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi suatu Negara.Namun asumsi yang digunakan tidak terjadi moral hazard dalam penggunaan anggaran. Artinya semua elit pemerintah berupaya semaksimal mengalokasikan anggaran bagi pertumbuhan ekonomi yang berharap mampu melunasi kembali utang jatuh tempo.
Ideal memang dengan pertumbuhan ekonomi relatif tinggi laksana madu yang mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh warga. Sehingga alasan peningkatan anggaran yang dialokasikan membangun infrastruktur secara allout dapat mendorong jalannya ekonomi sektor riil yang menjadi kendala bagi masyarakat dunia usaha. Pemerintah menjadi motor penggerak roda pembangunan sektor sulit yang secara otomatis diikuti sektor swasta dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang merata.
Pandangan pihak yang kontra terhadap peningkatan APBN dari defisit anggaran mengestimasi ketidak mampuan aparat pemerintah sebagai garda terdepan menciptakan peluang usaha. Maksud untuk mendorong perekonomian rakyat malah memunculkan sinisme dan pesimisme yang menjadi momok bagi dunia usaha. Dorongan untuk memaksimalkan peran swasta ikut melaksanakan proyek infrastruktur seakan bukti ketidak percayaan terhadap aparat pemerintah mengelola anggaran defisit. Sinyalemen yang belum terbukti empiris bahwa tingkat kebocoran anggaran dikisaran 30 % setiap tahun semakin menurunkan trust dunia usaha kepada pemerintah.
Ketidak cermatan pengelolaan anggaran belanja Negara yang ditopang pembelanjaan defisit dari utang bisa menjadi racun bagi generasi mendatang. Beban pembayaran pinjaman pokok dan bunga terpaksa ditempuh melalui penerbitan utang baru yang menjadikan porsi utang terhadap PDB semakin membengkak.
Namun ada kesan kebijakan anggaran yang prudent tanpa ekspansi yang signifikan merupakan pilihan aman bagi pemerintah dalam menyiasati kelangkaan sumber pembiayaan selain utang. Seandainya penerimaan dalam negeri semakin baik terutama sektor pajak alangkah manisnya perjalanan APBN di masa- masa mendatang.
Perlu ditempuh berbagai langkah yang tidak bersifat gradual sehingga dapat menurunkan tingkat ketergantungan APBN terhadap pembiayaan defisit. Hal penting yang perlu dilakukan adalah dengan percapatan reformasi dan modernisasi semua unit kerja pemerintah baik secara struktural dan kelembagaan. Tentu membutuhkan penyerapan angaran yang lumayan besar namun daripada dilakukan secara parsial akan membawa dampak perbaikan kinerja pelayanan lebih baik di masa mendatang. Upaya ini diyakini mampu mengikis mental korup aparat pemerintah yang selama ini telah meruntuhkan moral kehidupan masyarakat.
Upaya percepatan penyerapan anggaran proyek pembangunan yang berorientasi pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja juga penting segera dilakukan. Ide yang dilontarkan prediden SBY untuk menciptakan lapangan kerja baru 10,7 juta hingga tahun 2014 tidak menjadi khayal belaka. Kebutuhan anggaran infrastruktur yang dibutuhkan untuk itu mencapai Rp1.900 triliun tentu tidak cukup hanya ditutup oleh anggaran pemerintah.
Hanya saja banyaknya unit kerja pemerintah mulai perencanaan hingga pelaksanaan dan pengawasan proyek menjadikan inefisiensi pelaksanaan fisik pembangunan. Oleh karenanya harus dikurangi intervensi pemerintah pada pelaksanaan proyek yang didanai dari pembiayaan defisit supaya terukur kinerja yang nyata. Caranya dengan melibatkan peran sektor swasta baik lokal dan perusahan internasional melalui tender terbuka seperti e-procurement. Harus dapat dikaitkan antara rencana pembiayaan proyek dengan sumber defisit APBN dan target pertumbuhan yang dihasilkan supaya biaya dan benefit dapat terukur dengan tepat.
Alternatif solusi
Langkah kehati-hatian yang ditempuh pemerintah dalam mendobrak kebuntuan pelaksanaan proyek pembangunan utamanya infrastruktur yang masih mandeg diyakini belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi sesuai target. Dibutuhlan langkah taktis dengan mencontoh upaya pemerintah Tiongkok yang berhasil menjadi Negara terkaya kedua di dunia setelah Amerika Serikat dan menyalip Jepang semata karena fokus pada proyek infrastruktur.
Pemerintah harus berani melakukan terobosan memangkas birokrasi bila perlu menutup instansi yang tidak kompeten dalam menangani koordinasi pelaksanaan proyek. Tidak ada salahnya jika dilakukan kerja sama operasi dengan pihak swasta dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur. Apabila jangka waktu penyelesaian proyek multiyears maka sumber dana telah tersedia di awal yang tidak harus mengikuti mekanisme per satu tahun anggaran.
Instansi yang sudah eksis seperti Pusat Investasi Pemerintah di kementerian Keuangan bisa diberdayakan secara maksimal bekerja sama secara koordinatif dengan lembaga yang memberikan perijinan di departemen terkait dan Bappenas serta BKPM yang telah diwacanakan. Masyarakat masih melihat apakah langkah tersebut tidak memperpanjang birokrasi yang telah menjadikan roda pembangunan bottleneck selama ini.
Alasan kekurangan anggaran pembangunan dan keinginan meningkatkan pembiayan defisit APBN di tahun- tahun mendatang akan terjawab apabila pemerintah konsisten menyerahkan kepada pihak swasta sebagian urusan yang mampu menerobos pertumbuhan ekonomi. Manisnya madu yang dihasilkan dari output pembangunan yang langsung dirasakan masyarakat akan dapat dirasakan oleh generasi mendatang yang tidak hanya diwariskan beban utang yang menggunung.

Dilema Tax Ratio RAPBN 2011

Pokok- pokok RAPBN 2011 yang disampaikan oleh presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) di depan sidang paripurna lengkap DPR-MPR-DPD tanggal 16 Agustus 2010 yang menargetkan penerimaan Negara dari dalam negeri dan hibah sebesar 1.086,4 triliun rupiah dirasa belum mencerminkan adanya target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3 %. Masih adakah optimisme bahwa penerimaan Negara dari sektor pajak dan bukan pajak mampu menutupi rencana pengeluaran masing- masing lembaga Negara dan masyarakat di tahun 2011?.
Sepertinya penerimaan pajak yang ditarget sebesar 839,5 triliun atau mencapai 77 % dari total pendapatan Negara dan hibah masih belum digdaya untuk menutupi pembelanjaan APBN. Walau dibantu dengan penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 243,1 triliun yang mencapai 22% dari pendapatan Negara dan hibah tetap saja pembelanjaan defisit masih menganga.
Sungguh ironi bahwa kenaikan penerimaan dalam negeri yang dimotori oleh peneriman pajak tidak naik secara dinamis seiring dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan mencapai 6,3 % di tahun 2011 mendatang. Target penerimaan pajak yang diukur dari nisbah terhadap Produk Domestik Bruto yang disasar hanya sebesar 12,0 % dirasa berbagai kalangan baik akademisi dan masyarakat belum maksimal.
Sejalan dengan Bahl (1971) yang menegaskan bahwa melalui tax effort akan diketahui adanya selisih jumlah penerimaan pajak aktual dibanding dengan potensi penerimaan pajak berdasarkan taxable capacity. Sehingga upaya pemerintah untuk melakukan pemajakan akan terarah sesuai dengan potensi penerimaan pajak yang diharapkan. Dibutuhkan upaya sporadis untuk mewujudkan kapasitas kemampuan pajak (taxable capacity) yang dipunyai oleh perekonomian dan masyarakat Indonesia menjadi penerimaan Negara yang nyata. Terutaman menggali potensi underground economy yang belum dijamah dengan optimal.
Tax ratio dan tax effort
Perdebatan masalah faktor pembilang dan penyebut menimbulkan pro dan kontra bahwa kisaran angka tax ratio masih terlalu rendah. Untuk ukuran Indonsia yang telah menjadi ikon pertumbuhan ekonomi negara- negara emerging market di era abad ke 21 in maka angka tax ratio sebesar 11,9 % di tahun 2010 dirasakan teralu kecil. Walau belum ada kesepakatan dan predikat dari lembaga pemeringkat yang kredibel untuk menentukan indikator jenis penerimaan apa saja yang boleh dimasukkan sebagai komponen penerimaan perpajakan supaya tampilan tax ratio yang tidak jomplang dengan Negara tetangga dan Negara jiran serumpun seperti Malaysia yang telah mencapai 15,5 % tahun 2009.
Boleh saja Asian Development Bank (2010) dan Bank Pembangunan Islam menilai bahwa kaitan antara tax ratio dan ukuran kinerja pemerintah (cq Ditjen Pajak) dalam menghimpun penerimaan Negara termasuk yang terendah di Negara-negara Asia tenggara. Tax effort bagi Indonesia sebesar 13,3 % terhadap PDB dengan pembanding Malaysia mencapai 15,3 %, Thailand 15,2 % dan Filipina 14,1 % dirasa masih rendah.
Dua sisi yang saling melengkapi dan menentukan dalam upaya pemerintah menggenjot penerimaan pajak sehingga dapat meningkatkan angka tax ratio di tahun 2011. Sesuai pemikiran Chelliah (1971) di negara- negara berkembang bahwa sistem perpajakan berdasarkan self assessment perlu memperhatikan dua faktor yaitu: (1) kemampuan masyarakat untuk membayar pajak (ability to pay tax) dan (2) kemampuan pemerintah untuk mengumpulkan pajak.
Sisi kemampuan masyarakat tentu juga dipengaruhi adanya kemauan yang didasari adanya kepatuhan sukarela (self compliance) membayar pajak. Sistem pemungutan pajak yang sudah diadminsitrasikan sedemikian rupa masih belum mampu menggugah peningkatan signifikan penerimaan pajak. Tugas berat Direktorat Jenderal Pajak untuk mengimplementasikan kebijakan pemungutan pajak yang senantiasa dapat mendorong kegiatan roda perkeonomian sektor riil sehingga berkorelasi antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penerimaan pajak.
Posisi pemerintah yang harus mengenjot peningkatan penerimaan pajak agak berseberangan dengan tuntutan dunia usaha yang menginginkan adanya keringanan pajak yang diharapkan menjadi stimulus bagi perekonomian secara keseluruhan. Kebijakan terhadap sektor industri strategis padat modal dan berhubungan dengan infrastruktur yang memberikan berbagai fasilitas termasuk usulan keringanan pajak agaknya tidak sinkron dengan upaya mempercepat peningkatan tax ratio yang diinginkan bersama antara pemerintah dan DPR.
Upaya menaikkan angka tax ratio adalah menggali potensi- potensi sektor usaha yang masih belum maksimal dalam upaya pemajakannya. Terutama penghasilan masyarakat orang pribadi yang belum melakukan sistem pencatatan adminsitrasi dan pembukuan yang masih menggunakan norma penghitungan dalam menghitung pajak terutang.
Penerimaan pajak dari PPh orang pribadi belum naik secara signifikan dibandingkan dengan PPh dari wajib pajak badan.Prestasi selama tahun 2009 porsi penerimaan Pajak Penghasilan dari PPh Orang pribadi hanya menyumbang 22,89 % dengan PPh Badan sebesar 77,11 %. Ironis dengan tren di Negara maju seperti Amerika Serikat yang menjadi benchmark sistem perpajakan berdasarkan self assessment yang diantut oleh Indonesia telah mencapai rasio penerimaan Pajak dari PPh orang pribadi sebsar 84,9 % dan PPh badan sebesar 15,09 %.
Membandingkan kinerja penerimaan pajak terhadap GDP sebagai ukuran dari tax ratio sungguh menjadi impian. Seluruh masyarakat berharap dengan penuh optimis kepada peran Direktorat Jenderal Pajak dalam memenuhi tuntutan untuk mensejahterakan masyarakat. Angka nominal pencapaian penerimaan pajak yang diganjar sebesar 12 % dari taksiran PDB di akhir tahun 2010 yang akan mencapai Rp 6.500 triliun niscaya mampu menghasilkan penerimaan pajak sebesar Rp 780 triliun.
Lalu pertanyaannya apakah pemerintah dengan mudah dan mampu meraup penerimaan dalam negeri dari potensi angka PDB yang menjanjikan tersebut? Walaupun diyakini masih terdapat sektor kegiatan ekonomi masyarakat yang belum tercatat dan termasuk dalam komponen perhitungan PDB yang resmi diumumkan oleh Biro Pusat Statistik setiap periodik.
Jawabanya memang tidak serta merta terdapat korelasi langsung antara kenaikan nominal PDB dan pertumbuhan penerimaan dalam negeri. Sebab dibutuhkan upaya ketat dan lintas sektoral yang harus disinkronkan antara semua aparat baik pemerintah pusat dan daerah untuk mendukung tercapainya iklim investasi yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara riil tanpa didompleng adanya high cost economy yang sulit dihindarkan.
Solusi
Berbagai hambatan menghadang upaya pemerintah untuk menjaga iklim pertumbuhan ekonomi yang sustainable di tahun 2011.Sisi utama dari belum pulihnya perekonomian global yang dimotori perekonmian Ameriak Serikat yang masih loyo sehingga akan terjadi pelambatan ekspor komoditi barang jadi dari Indonesia yang secara langsung memukul dan mengurangi keuntungan perusahaan sebagai motor pembayar pajak terbesar. Termasuk masih naiknya harga komoditi pangan yang tidak diimbangi oleh penyediaan produsen pangan lokal sehingga akan menambah beban impor pangan yang menyedot devisa.
Hambatan utama di dalam negeri yang dapat mengganggu salah satu pilar janji pertumbuhan (pro growth) RAPBN 2011 adalah masih langkanya pasokan energi bagi kebutuhan perusahaan industri manufaktur sehingga menggagnggu pasokan barang kebutuhan masyarakat di dalam negeri. Pada akhirnya akan memicu peningkatan ketergantungan kepada produk asing yang akan mengurangi potensi penjualan produsen barang dalam negeri dan bisa mengubah strategi dari produsen menjadi distributor produk murah dari asing seperti China.
Strategi apa yang perlu ditempu pemerintah untuk menggenjot peningkatan penerimaan pajak yang mampu menaikkan tax ratio dan menggali potensi tax effort yang masih luas? Tidak seperti membalikkan telapak tangan yang bisa mengukur secara pasti hasil atau output suatu kebijakan pemajakan. Secara kelembagaan Kementerian Keuangan telah mencanangkan program modernisasi adminsitrasi sistem perpajakan yang telah mencapai jilid dua dan telah dilaunching kembali pada tanggal 18 Agustus 2010 oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Selanjutnya yang penting dilakukan adalah upaya secara konsisten dalam penegakan hukum (law enforcement) baik terhadap wajib pajak dan kepada aparat pajak sendiri yang telah domotori pembentukan Komite Pengawas Perpajakan sebagai lembaga kredibel yang mampu menjaga konsistensi kelembagaan. Memang alasan klasik bahwa kepatuhan membayar pajak di Indonesia masih tergolong rendah sehingga melalui sinkronisasi sesama aparat penegak hukum akan dapat mendorong penurunan pengemplangan pajak dan menaikkan tingkat kepatuhan sukarela.(Arles Ompusunggu)

Seandainya menghitung pajak itu gampang?

“The hardest thing in the world to understand is the income tax.” — Albert Einstein

Setelah pemerintah mengklaim akan keberhasilan menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) menembus angka 15 juta per Agustus 2009 akankah diikuti peningkatan penerimaan pajak yang signifikan bagi kas Negara? Jawaban sementara terlihat dari kinerja Tax Ratio dalam APBN 2009 yang belum beranjak dari kisaran 12,0 % dan masih jauh dari beberapa Negara ASEAN seperti Tahiland yang menembus 16 %. Lho apakah keberhasilan suatu Negara diukur dari Tax Ratio saja? Hal paling mudah ya membandingkn potensi GDP dengan hasil penerimaan pajak. Arti sederhana yaitu masih terdapat tax potensial loss yang belum berhasil dipugut oleh pemerintah melalui sistem self assessment yang dibanggakan sejak reformasi perpajakan tahun 1984.
Terlihat bahwa self compliance atau kepatuhan sukarela masih semu karena masyarakat selaku pihak yang wajib membayar pajak dengan kesadaran sendiri belum lancar melunasi kewajiban pajaknya. Atau sistem pemungutan pajak yang memberikan kebebasn sepenuhnya kepada masyarakat untuk menghitung , menetapkan, menyetorkan dan melaporkan sendiri pajaknya masih penuh dengan ranjau- ranjau yang sulit dimengerti? Waktu lah yang menjadi saksi dan bukti untuk menunjukkan keberhasilan system pemajakan yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Pemilik NPWP kalau ditanya secara jujur pasti berkilah bahwa cara menghitung pajak atas pendapatan yang diperoleh adalah sulit dan tidak mudah. Terutama para karyawan yang semata-mata mempunyai penghasilan dari pemberi kerja maupun yang mempunyai penghasila sampingan akan mengelak apabila ditanya atau disuruh untuk melakukan pelaporan dan penghitungan sendiri kewajiban pajaknya. Masih ada rasa trauma dibenak masyarakat apabila berhubungan dengan masalah pajak pada hal sekarang aspek pelayanan dari aparat pajak sudah sangat customer oriented dan user friendly.
Harus diupayakan oleh pemerintah bekerja sama dengan lembaga atau asosiasi yang bekecimpung dalam dunia perpajakan dan perguruan tinggi dalam bentuk kegiatan pengabdian masyarakat untuk memasyaraktkan dan menyosialisasikan proses untuk menghitung pajak sendiri. Sehingga tidak muncul alasan klise kalau pajak yang terutang atas penghasilan karyawan adalah urusan perusahan untuk menghitung, meyetorkan ke kas Negara dan melaporkan ke Kantor Pajak. Dari pengalaman selama ini pemerintah berupaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terutama yang telah memiliki NPWP dari hasil optimalisasi di perusahaan dan organisasi.
Sekarang mari kita memasuki area untuk memudahkan pemahaman dalam menghitung sendiri pajak terutang atas penghasilan yang diperoleh. Sebagai contoh Tuan Adrea selama tahun 2009 seorang manajer editing perusahaan percetakan ternama PT GPP di Jakarta mempunyai sumber- sumber penghasilan diluar penghasilan sebagai karyawan tetap yang berasal dari: jasa konsultasi lepas penulisan buku dengan penulis buku, penghasilan dari usaha sampingan membuka penerbitan komik dirumah dan dikelola oleh isterinya. Selain sumber penghasilan tersebut dia juga mendapat bunga deposito, penghasilan dari sewa apartemen yang masih KPR. Dia masih bingung dan merasa bahwa atas semua penghasilan yang diterimanya telah dipotong pajak.
Tentu alasan Andrea tidak sepenuhnya salah karena atas penghasilan yang diterima sudah terdapat komponen pajak penghasilan. Gaji yang diterima di rekeningnya sudah dipotong pajak sesuai kontrak kerja dengan perusahaan bahwa gaji bersih adalah net setelah pajak .Penghasilan dari usaha sampingan menurutnya masih belum terutang pajak karena masih baru, penghasilan dari jasa lepas penulisan buku dengan beberapa pengarang mungkin belum terutang pajak sehingga harus disetor tetapi tidak tahu prosedurnya untuk menghitung pajaknya.termasuk yang belum adalah penghasilan dari sewa apartemen karena penyewa tidak mau membayar pajaknya. Sedangkan pajak atas penghasilan bunga deposito sudah dipotong oleh bank tempat menyimpan uangnya.
Sekarang langkah apa yang musti ditempuh oleh Andera ? Apakah dia harus ikut pelatihan pajak atau menyewa konsultan pajak yang dia pikir akan memakan biaya yang tidak kecil. Jawabann sederhananya sejatinya Adrea mampu mandiri melakukan semua kewajiban perpajakannya tanpa bergantung kepada pihak ali yang sifatnya komersial. Di sini mungkin perlu peran pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak untuk memandu masayarakat seperti Andrea supaya dengan sendirinya mau dan mudah menghitung dan menyetorkan pajak terutang. Untuk mengansisipasi kondisi kesulitan tyang dialami oleh banyak Adrea lain maka pihak aparat pajak sudah menyediakan petugas khusus yang dinamai Account Representatif (AR).
Penjelasan yang gamblang kepada Andrea adalah terlebih dulu dia memahami dan memisahkan jenis penghasilan aktif dan penghasilan pasif. Karena perlakuan pajak dan tarif adalah berbeda atas jenis penghasilan yang diperoleh. Demikian juga mekanisme pelaporan ke Kantor Pajak yang juga berbeda. Atas semua penghasilan yang diperoleh oleh Andrea baik aktif yaitu dari pekerjaan, usaha, pekerjaan bebas maupun penghasilan pasif sehubungan perputaran modal yaitu: bunga deposito, sewa apartemen sudah diakomodasi oleh pemerintah dalam mekanisme pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) di akhir tahun. Untuk jelasnya mari kita simulasikan dengan contoh dalam bentuk angka rupiah yang seandainya diperoleh oleh Andrea dari semua jenis penghasilan selama tahun 2009.
Unsur- unsur penghasilaan adalah sebagai berikut:
1) Penghasilan gaji dan tunjangan dari kantor- net Rp 180.000.000
2) Jasa konsultasi lepas penulisan buku Rp 24.000.000
3) Penghasilan bruto dari usaha penerbitan komik Rp 450.000.000
4) Bunga deposito- net Rp 17.500.000
5) Sewa apartemen-belum dipotong pajak Rp 60.000.000
Keterangan tambahan adalah: Andre telah menikah dengan 1 isteri dan 2 anak umur 7 dan 9 tahun. PPh Pasal 21 telah dipotong oleh PT ABC sesuai formulir 1721 A1 sebesar Rp 17.590.000.PPh pasal 4 ayat 2 atas bunga deposito Rp 4.375.000. Zakat sumbangan wajib keagamaan sebesar Rp 4.500.000.
Langkah selanjutnya adalah menghitung pajak terutang dan pajak yang kurang atau lebih bayar tahun 2009 yang harus dilaporkan di SPT PPh Orang Pribadi formulir 1770.
Jumlah penghasilan neto selama tahun 2009 yang terutang PPh tariff pasal 17 adalah:
1) Penghasilan neto Dlm Negeri dari usaha/pekerjaan bebas (dihitung dg Norma Penghitungan tanpa pembukuan sesuai Kep Dirjen Pajak Nomor: 536/PJ/2000, KLU 34200, Industri Percetakan dan penrbitan dg Pengh. Neto sebesar 14,5 % x Rp 450.000.000 = Rp 65.250.000

2) Penghasilan Neto DN sehubungan pekerjaan = Rp 180.000.000

3) Penghasilan Net DN lainnya( sewa) = Rp 60.000.000

4) Penghasilan neto DN lainnya ( jasa konsultasi penulisan) = Rp 24.000.000 +

Jumlah = Rp 329.250.000
Zakat wajib keagamaan = Rp 4.500.000 -
Jumlah penghasilan Neto = Rp 324.750.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak ( K/I/2) = Rp 19.800.000-
Penghasilan Kena Pajak = Rp 304.950.000
PPh terutang tariff pasal 17 UU No 36 Th 2008:
- 5 % x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000
- 15 % xRp 200.000.000 = Rp 30.000.000
- 25 % x Rp 54.950.000 = Rp 13.737.500+ = Rp 46.237.500
Dikurangi PPh yang dipotong perusahaan selaku pemberi kerja = Rp 17.590.000 -
PPh yang kurang dibayar = Rp 28.647.500

Atas pajak dari penghasilan yang dipotong tariff final seperti bunga deposito tidak perlu digungungkan dalam penghitungan pajak terutang karena sudah dipungut dan dipotong oleh bank.

Sedikit masalah yang muncul adalah apakah Andrea harus mempunyai kewajiban untuk membayar angsuran PPh pasal 25 di tahun 2010? Apabila dilihat bahwa kriteria memiliki pekerjaan bebas atau usaha yaitu atas usaaha sampingan maka ada kewajiban untuk terutang PPh pasal 25 tahun 2010 yaitu sebesar 1/12 x PPh yang harus dibayar sendiri dan diasumsikan merupakan penghasilan yang teratur. = ½ x Rp 28.647.500 = Rp 2.387.291 (harus disetor dan diangsur setiap bulan salaam tahun 2010). Atas jumlah ini dapat berubah apabila terjadi perubahan kegiatan usaha atau perolehan penghasilan tidak teratur.
Ilustrasi tersebut adalah perhitungan sederhana yang masih perlu dirumuskan kembali apabila seorang mempunyai beragam jenis penghsilan baik dari dalam negeri maupun luar negeri sesuai konsep world wide income yang dianut UU Pajak Penghasilan. Secaar umum tata cara penghitungan pajak- pajak terutang yang diatur dalam petunjuk pengisian SPT bisa dipelajari dengan seksama tanpa harus mengorbankan waktu dan biaya yang signifikan. Persoalannya apakah masyarakat sudah cukup tahu dan trengginas dalam menghitung sendiri kewajiban pajak- pajaknya? Semoga ilustrasi sedrhana ini dapat bermanfaat dan menjadi inspirasi bagi masyarakat wajib pajak untuk ikut aktif menghitung sendiri, menyetorkan sendiri dan melaporkan sendiri sesuai moto self assessment dalam penghitungan pajak. Seandainya menghitung pajak itu gampang, tentu memudahkan bagi masyarakat dan pemerintah untuk mencapai optimalisasi penerimaan pajak bagi kebutuhan APBN.(Arles)