Kamis, 10 Agustus 2017

Rabu, 15 September 2010

DEFISIT APBN: MADU ATAU RACUN?

Membengkaknya jumlah utang pemerintah baik domestik dan luar negeri yang telah mencapai Rp 1.680 triliun di tahun 2010 menjadi salah satu indikator rawannya risiko fiskal dalam RAPBN tahun 2011. Bahkan jumlah tersebut masih akan digenjot hingga Rp 1.880 triliun di tahun 2011 guna menambal bolong atau defisit APBN.Apakah ada yang salah membelanjai defisit APBN dengan salah satu sumber dari pembiayaan utang?.Pro dan kontra saling beradu antara pihak yang mendukung dan yang menolak perihal perlunya pelebaran defisit APBN yang utamanya dibiayai dengan utang pemerintah.
Pembelanjaan pemerintah yang dialokasikan untuk keperluan rutin dan proyek pembangunan sejatinya disesuaikan dengan sumber penerimaan dalam anggaran negara. Apa daya pembengkakan rencana pengeluaran dalam RAPBN 2011 yang telah diajukan dalam Nota Keuangan Pemerintah di DPR tanggal 16 Agustus 2010 lalu menjadi pemicu untuk menutupi shortfall penerimaan dengan rencana defisit anggaran. Kisaran rencana defisit sebesar Rp 115,7triliun atau setara 1,7 % dari Produk Domestik Bruto (PDB) sungguh bukan angka yang kecil walau tidak signifikan dibanding defisit Amerika Serikat sebesar 12,3 % dari PDB atau setara US $ 1,7 triliun.
Memang ada harapan bahwa pengalokasian anggaran yang didanai sebagian dari pembiayaan defisit akan mampu mendorong percepatan pembangunan terutama infrastruktur yang sangat mendesak. Andai tercapai pemerataan dan akuntabilitas serta transparansi penggunaan anggaran pemerintah maka kekhawatiran inefisiensi dan kebocoran anggaran menjadi sirna.Sehingga tujuan penyerapan anggaran yang realistis semakin cepat direalisir untuk mampu mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi yang ditarget mencapai 6,3 %.
Permasalahannya tidak sesederhana membalikkan lembaran halaman buku tanpa menghubungkan ke halaman berikutnya. Sebab akar permasalahan muncul dihilir pengguna anggaran yang tidak segiat penyedia sumber penerimaan. Rencana alokasi pembangunan proyek pembangunan yang digagas dengan indah oleh Kementerian dan Lembaga Negara Non Departemen saat pengajuan bujet ke Kementerian Keuangan menjadi gamang saat pelaksanaan. Ruwetnya birokrasi pengadaan proyek dengan kendala persyaratan tender yang jelimet dan rawan risiko membuat pihak pengelola anggaran pembangunan seakan ciut melaksanakan tugas pokoknya.
Kebijakan defisit APBN dan penggunaan anggaran dan belanja negara yang dijalankan pemerintah sebenarnya cukup jitu sebagai bantalan siaga penyediaan dana darurat. Sebab kelangkaan sumber anggaran akibat mismatch penerimaan pajak dengan pengeluaran pemerintah segera dapat ditambal dengan dana yang segera tersedia.Kesinambungan pelaksanaan anggaran selalu terjaga meski terkesan seperti menyelesaikan masalah dengan risiko beban utang yang semakin meningkat.
Oportunitas
Kalangan yang pro terhadap pembelanjaan defisit mendukung dengan gigih penambahan anggaran belanja Negara melalui penambahan defisit APBN. Alasan utamanya adalah timing penerbitan utang pemerintah andai tidak ada sumber lain seperti penjualan asset Negara, dividen BUMN. Dengan kondisi country risk Indonesia yang semakin baik yang diyakini tahun depan mencapai investment grade dari lembaga peringkat Standar and Poor’s dan tingkat bunga global masih rendah merupakan oportunitas mendapatkan sumber pendanaan utang baik domestik maupun global.
Harapan untuk mengejar tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3 % dapat dicapai dengan strategi percepatan pembiayaan termasuk penigkatan porsi defisit. Apabila sinkron dengan penelitian di 103 negara berkembang oleh Gupta (2007) yang menyimpulakn bahwa pendanaan anggaran pemerintah melalui pinjaman tanpa hibah akan mampu mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi suatu Negara.Namun asumsi yang digunakan tidak terjadi moral hazard dalam penggunaan anggaran. Artinya semua elit pemerintah berupaya semaksimal mengalokasikan anggaran bagi pertumbuhan ekonomi yang berharap mampu melunasi kembali utang jatuh tempo.
Ideal memang dengan pertumbuhan ekonomi relatif tinggi laksana madu yang mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh warga. Sehingga alasan peningkatan anggaran yang dialokasikan membangun infrastruktur secara allout dapat mendorong jalannya ekonomi sektor riil yang menjadi kendala bagi masyarakat dunia usaha. Pemerintah menjadi motor penggerak roda pembangunan sektor sulit yang secara otomatis diikuti sektor swasta dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang merata.
Pandangan pihak yang kontra terhadap peningkatan APBN dari defisit anggaran mengestimasi ketidak mampuan aparat pemerintah sebagai garda terdepan menciptakan peluang usaha. Maksud untuk mendorong perekonomian rakyat malah memunculkan sinisme dan pesimisme yang menjadi momok bagi dunia usaha. Dorongan untuk memaksimalkan peran swasta ikut melaksanakan proyek infrastruktur seakan bukti ketidak percayaan terhadap aparat pemerintah mengelola anggaran defisit. Sinyalemen yang belum terbukti empiris bahwa tingkat kebocoran anggaran dikisaran 30 % setiap tahun semakin menurunkan trust dunia usaha kepada pemerintah.
Ketidak cermatan pengelolaan anggaran belanja Negara yang ditopang pembelanjaan defisit dari utang bisa menjadi racun bagi generasi mendatang. Beban pembayaran pinjaman pokok dan bunga terpaksa ditempuh melalui penerbitan utang baru yang menjadikan porsi utang terhadap PDB semakin membengkak.
Namun ada kesan kebijakan anggaran yang prudent tanpa ekspansi yang signifikan merupakan pilihan aman bagi pemerintah dalam menyiasati kelangkaan sumber pembiayaan selain utang. Seandainya penerimaan dalam negeri semakin baik terutama sektor pajak alangkah manisnya perjalanan APBN di masa- masa mendatang.
Perlu ditempuh berbagai langkah yang tidak bersifat gradual sehingga dapat menurunkan tingkat ketergantungan APBN terhadap pembiayaan defisit. Hal penting yang perlu dilakukan adalah dengan percapatan reformasi dan modernisasi semua unit kerja pemerintah baik secara struktural dan kelembagaan. Tentu membutuhkan penyerapan angaran yang lumayan besar namun daripada dilakukan secara parsial akan membawa dampak perbaikan kinerja pelayanan lebih baik di masa mendatang. Upaya ini diyakini mampu mengikis mental korup aparat pemerintah yang selama ini telah meruntuhkan moral kehidupan masyarakat.
Upaya percepatan penyerapan anggaran proyek pembangunan yang berorientasi pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja juga penting segera dilakukan. Ide yang dilontarkan prediden SBY untuk menciptakan lapangan kerja baru 10,7 juta hingga tahun 2014 tidak menjadi khayal belaka. Kebutuhan anggaran infrastruktur yang dibutuhkan untuk itu mencapai Rp1.900 triliun tentu tidak cukup hanya ditutup oleh anggaran pemerintah.
Hanya saja banyaknya unit kerja pemerintah mulai perencanaan hingga pelaksanaan dan pengawasan proyek menjadikan inefisiensi pelaksanaan fisik pembangunan. Oleh karenanya harus dikurangi intervensi pemerintah pada pelaksanaan proyek yang didanai dari pembiayaan defisit supaya terukur kinerja yang nyata. Caranya dengan melibatkan peran sektor swasta baik lokal dan perusahan internasional melalui tender terbuka seperti e-procurement. Harus dapat dikaitkan antara rencana pembiayaan proyek dengan sumber defisit APBN dan target pertumbuhan yang dihasilkan supaya biaya dan benefit dapat terukur dengan tepat.
Alternatif solusi
Langkah kehati-hatian yang ditempuh pemerintah dalam mendobrak kebuntuan pelaksanaan proyek pembangunan utamanya infrastruktur yang masih mandeg diyakini belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi sesuai target. Dibutuhlan langkah taktis dengan mencontoh upaya pemerintah Tiongkok yang berhasil menjadi Negara terkaya kedua di dunia setelah Amerika Serikat dan menyalip Jepang semata karena fokus pada proyek infrastruktur.
Pemerintah harus berani melakukan terobosan memangkas birokrasi bila perlu menutup instansi yang tidak kompeten dalam menangani koordinasi pelaksanaan proyek. Tidak ada salahnya jika dilakukan kerja sama operasi dengan pihak swasta dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur. Apabila jangka waktu penyelesaian proyek multiyears maka sumber dana telah tersedia di awal yang tidak harus mengikuti mekanisme per satu tahun anggaran.
Instansi yang sudah eksis seperti Pusat Investasi Pemerintah di kementerian Keuangan bisa diberdayakan secara maksimal bekerja sama secara koordinatif dengan lembaga yang memberikan perijinan di departemen terkait dan Bappenas serta BKPM yang telah diwacanakan. Masyarakat masih melihat apakah langkah tersebut tidak memperpanjang birokrasi yang telah menjadikan roda pembangunan bottleneck selama ini.
Alasan kekurangan anggaran pembangunan dan keinginan meningkatkan pembiayan defisit APBN di tahun- tahun mendatang akan terjawab apabila pemerintah konsisten menyerahkan kepada pihak swasta sebagian urusan yang mampu menerobos pertumbuhan ekonomi. Manisnya madu yang dihasilkan dari output pembangunan yang langsung dirasakan masyarakat akan dapat dirasakan oleh generasi mendatang yang tidak hanya diwariskan beban utang yang menggunung.

Dilema Tax Ratio RAPBN 2011

Pokok- pokok RAPBN 2011 yang disampaikan oleh presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) di depan sidang paripurna lengkap DPR-MPR-DPD tanggal 16 Agustus 2010 yang menargetkan penerimaan Negara dari dalam negeri dan hibah sebesar 1.086,4 triliun rupiah dirasa belum mencerminkan adanya target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3 %. Masih adakah optimisme bahwa penerimaan Negara dari sektor pajak dan bukan pajak mampu menutupi rencana pengeluaran masing- masing lembaga Negara dan masyarakat di tahun 2011?.
Sepertinya penerimaan pajak yang ditarget sebesar 839,5 triliun atau mencapai 77 % dari total pendapatan Negara dan hibah masih belum digdaya untuk menutupi pembelanjaan APBN. Walau dibantu dengan penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 243,1 triliun yang mencapai 22% dari pendapatan Negara dan hibah tetap saja pembelanjaan defisit masih menganga.
Sungguh ironi bahwa kenaikan penerimaan dalam negeri yang dimotori oleh peneriman pajak tidak naik secara dinamis seiring dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan mencapai 6,3 % di tahun 2011 mendatang. Target penerimaan pajak yang diukur dari nisbah terhadap Produk Domestik Bruto yang disasar hanya sebesar 12,0 % dirasa berbagai kalangan baik akademisi dan masyarakat belum maksimal.
Sejalan dengan Bahl (1971) yang menegaskan bahwa melalui tax effort akan diketahui adanya selisih jumlah penerimaan pajak aktual dibanding dengan potensi penerimaan pajak berdasarkan taxable capacity. Sehingga upaya pemerintah untuk melakukan pemajakan akan terarah sesuai dengan potensi penerimaan pajak yang diharapkan. Dibutuhkan upaya sporadis untuk mewujudkan kapasitas kemampuan pajak (taxable capacity) yang dipunyai oleh perekonomian dan masyarakat Indonesia menjadi penerimaan Negara yang nyata. Terutaman menggali potensi underground economy yang belum dijamah dengan optimal.
Tax ratio dan tax effort
Perdebatan masalah faktor pembilang dan penyebut menimbulkan pro dan kontra bahwa kisaran angka tax ratio masih terlalu rendah. Untuk ukuran Indonsia yang telah menjadi ikon pertumbuhan ekonomi negara- negara emerging market di era abad ke 21 in maka angka tax ratio sebesar 11,9 % di tahun 2010 dirasakan teralu kecil. Walau belum ada kesepakatan dan predikat dari lembaga pemeringkat yang kredibel untuk menentukan indikator jenis penerimaan apa saja yang boleh dimasukkan sebagai komponen penerimaan perpajakan supaya tampilan tax ratio yang tidak jomplang dengan Negara tetangga dan Negara jiran serumpun seperti Malaysia yang telah mencapai 15,5 % tahun 2009.
Boleh saja Asian Development Bank (2010) dan Bank Pembangunan Islam menilai bahwa kaitan antara tax ratio dan ukuran kinerja pemerintah (cq Ditjen Pajak) dalam menghimpun penerimaan Negara termasuk yang terendah di Negara-negara Asia tenggara. Tax effort bagi Indonesia sebesar 13,3 % terhadap PDB dengan pembanding Malaysia mencapai 15,3 %, Thailand 15,2 % dan Filipina 14,1 % dirasa masih rendah.
Dua sisi yang saling melengkapi dan menentukan dalam upaya pemerintah menggenjot penerimaan pajak sehingga dapat meningkatkan angka tax ratio di tahun 2011. Sesuai pemikiran Chelliah (1971) di negara- negara berkembang bahwa sistem perpajakan berdasarkan self assessment perlu memperhatikan dua faktor yaitu: (1) kemampuan masyarakat untuk membayar pajak (ability to pay tax) dan (2) kemampuan pemerintah untuk mengumpulkan pajak.
Sisi kemampuan masyarakat tentu juga dipengaruhi adanya kemauan yang didasari adanya kepatuhan sukarela (self compliance) membayar pajak. Sistem pemungutan pajak yang sudah diadminsitrasikan sedemikian rupa masih belum mampu menggugah peningkatan signifikan penerimaan pajak. Tugas berat Direktorat Jenderal Pajak untuk mengimplementasikan kebijakan pemungutan pajak yang senantiasa dapat mendorong kegiatan roda perkeonomian sektor riil sehingga berkorelasi antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penerimaan pajak.
Posisi pemerintah yang harus mengenjot peningkatan penerimaan pajak agak berseberangan dengan tuntutan dunia usaha yang menginginkan adanya keringanan pajak yang diharapkan menjadi stimulus bagi perekonomian secara keseluruhan. Kebijakan terhadap sektor industri strategis padat modal dan berhubungan dengan infrastruktur yang memberikan berbagai fasilitas termasuk usulan keringanan pajak agaknya tidak sinkron dengan upaya mempercepat peningkatan tax ratio yang diinginkan bersama antara pemerintah dan DPR.
Upaya menaikkan angka tax ratio adalah menggali potensi- potensi sektor usaha yang masih belum maksimal dalam upaya pemajakannya. Terutama penghasilan masyarakat orang pribadi yang belum melakukan sistem pencatatan adminsitrasi dan pembukuan yang masih menggunakan norma penghitungan dalam menghitung pajak terutang.
Penerimaan pajak dari PPh orang pribadi belum naik secara signifikan dibandingkan dengan PPh dari wajib pajak badan.Prestasi selama tahun 2009 porsi penerimaan Pajak Penghasilan dari PPh Orang pribadi hanya menyumbang 22,89 % dengan PPh Badan sebesar 77,11 %. Ironis dengan tren di Negara maju seperti Amerika Serikat yang menjadi benchmark sistem perpajakan berdasarkan self assessment yang diantut oleh Indonesia telah mencapai rasio penerimaan Pajak dari PPh orang pribadi sebsar 84,9 % dan PPh badan sebesar 15,09 %.
Membandingkan kinerja penerimaan pajak terhadap GDP sebagai ukuran dari tax ratio sungguh menjadi impian. Seluruh masyarakat berharap dengan penuh optimis kepada peran Direktorat Jenderal Pajak dalam memenuhi tuntutan untuk mensejahterakan masyarakat. Angka nominal pencapaian penerimaan pajak yang diganjar sebesar 12 % dari taksiran PDB di akhir tahun 2010 yang akan mencapai Rp 6.500 triliun niscaya mampu menghasilkan penerimaan pajak sebesar Rp 780 triliun.
Lalu pertanyaannya apakah pemerintah dengan mudah dan mampu meraup penerimaan dalam negeri dari potensi angka PDB yang menjanjikan tersebut? Walaupun diyakini masih terdapat sektor kegiatan ekonomi masyarakat yang belum tercatat dan termasuk dalam komponen perhitungan PDB yang resmi diumumkan oleh Biro Pusat Statistik setiap periodik.
Jawabanya memang tidak serta merta terdapat korelasi langsung antara kenaikan nominal PDB dan pertumbuhan penerimaan dalam negeri. Sebab dibutuhkan upaya ketat dan lintas sektoral yang harus disinkronkan antara semua aparat baik pemerintah pusat dan daerah untuk mendukung tercapainya iklim investasi yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara riil tanpa didompleng adanya high cost economy yang sulit dihindarkan.
Solusi
Berbagai hambatan menghadang upaya pemerintah untuk menjaga iklim pertumbuhan ekonomi yang sustainable di tahun 2011.Sisi utama dari belum pulihnya perekonomian global yang dimotori perekonmian Ameriak Serikat yang masih loyo sehingga akan terjadi pelambatan ekspor komoditi barang jadi dari Indonesia yang secara langsung memukul dan mengurangi keuntungan perusahaan sebagai motor pembayar pajak terbesar. Termasuk masih naiknya harga komoditi pangan yang tidak diimbangi oleh penyediaan produsen pangan lokal sehingga akan menambah beban impor pangan yang menyedot devisa.
Hambatan utama di dalam negeri yang dapat mengganggu salah satu pilar janji pertumbuhan (pro growth) RAPBN 2011 adalah masih langkanya pasokan energi bagi kebutuhan perusahaan industri manufaktur sehingga menggagnggu pasokan barang kebutuhan masyarakat di dalam negeri. Pada akhirnya akan memicu peningkatan ketergantungan kepada produk asing yang akan mengurangi potensi penjualan produsen barang dalam negeri dan bisa mengubah strategi dari produsen menjadi distributor produk murah dari asing seperti China.
Strategi apa yang perlu ditempu pemerintah untuk menggenjot peningkatan penerimaan pajak yang mampu menaikkan tax ratio dan menggali potensi tax effort yang masih luas? Tidak seperti membalikkan telapak tangan yang bisa mengukur secara pasti hasil atau output suatu kebijakan pemajakan. Secara kelembagaan Kementerian Keuangan telah mencanangkan program modernisasi adminsitrasi sistem perpajakan yang telah mencapai jilid dua dan telah dilaunching kembali pada tanggal 18 Agustus 2010 oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Selanjutnya yang penting dilakukan adalah upaya secara konsisten dalam penegakan hukum (law enforcement) baik terhadap wajib pajak dan kepada aparat pajak sendiri yang telah domotori pembentukan Komite Pengawas Perpajakan sebagai lembaga kredibel yang mampu menjaga konsistensi kelembagaan. Memang alasan klasik bahwa kepatuhan membayar pajak di Indonesia masih tergolong rendah sehingga melalui sinkronisasi sesama aparat penegak hukum akan dapat mendorong penurunan pengemplangan pajak dan menaikkan tingkat kepatuhan sukarela.(Arles Ompusunggu)

Seandainya menghitung pajak itu gampang?

“The hardest thing in the world to understand is the income tax.” — Albert Einstein

Setelah pemerintah mengklaim akan keberhasilan menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) menembus angka 15 juta per Agustus 2009 akankah diikuti peningkatan penerimaan pajak yang signifikan bagi kas Negara? Jawaban sementara terlihat dari kinerja Tax Ratio dalam APBN 2009 yang belum beranjak dari kisaran 12,0 % dan masih jauh dari beberapa Negara ASEAN seperti Tahiland yang menembus 16 %. Lho apakah keberhasilan suatu Negara diukur dari Tax Ratio saja? Hal paling mudah ya membandingkn potensi GDP dengan hasil penerimaan pajak. Arti sederhana yaitu masih terdapat tax potensial loss yang belum berhasil dipugut oleh pemerintah melalui sistem self assessment yang dibanggakan sejak reformasi perpajakan tahun 1984.
Terlihat bahwa self compliance atau kepatuhan sukarela masih semu karena masyarakat selaku pihak yang wajib membayar pajak dengan kesadaran sendiri belum lancar melunasi kewajiban pajaknya. Atau sistem pemungutan pajak yang memberikan kebebasn sepenuhnya kepada masyarakat untuk menghitung , menetapkan, menyetorkan dan melaporkan sendiri pajaknya masih penuh dengan ranjau- ranjau yang sulit dimengerti? Waktu lah yang menjadi saksi dan bukti untuk menunjukkan keberhasilan system pemajakan yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Pemilik NPWP kalau ditanya secara jujur pasti berkilah bahwa cara menghitung pajak atas pendapatan yang diperoleh adalah sulit dan tidak mudah. Terutama para karyawan yang semata-mata mempunyai penghasilan dari pemberi kerja maupun yang mempunyai penghasila sampingan akan mengelak apabila ditanya atau disuruh untuk melakukan pelaporan dan penghitungan sendiri kewajiban pajaknya. Masih ada rasa trauma dibenak masyarakat apabila berhubungan dengan masalah pajak pada hal sekarang aspek pelayanan dari aparat pajak sudah sangat customer oriented dan user friendly.
Harus diupayakan oleh pemerintah bekerja sama dengan lembaga atau asosiasi yang bekecimpung dalam dunia perpajakan dan perguruan tinggi dalam bentuk kegiatan pengabdian masyarakat untuk memasyaraktkan dan menyosialisasikan proses untuk menghitung pajak sendiri. Sehingga tidak muncul alasan klise kalau pajak yang terutang atas penghasilan karyawan adalah urusan perusahan untuk menghitung, meyetorkan ke kas Negara dan melaporkan ke Kantor Pajak. Dari pengalaman selama ini pemerintah berupaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terutama yang telah memiliki NPWP dari hasil optimalisasi di perusahaan dan organisasi.
Sekarang mari kita memasuki area untuk memudahkan pemahaman dalam menghitung sendiri pajak terutang atas penghasilan yang diperoleh. Sebagai contoh Tuan Adrea selama tahun 2009 seorang manajer editing perusahaan percetakan ternama PT GPP di Jakarta mempunyai sumber- sumber penghasilan diluar penghasilan sebagai karyawan tetap yang berasal dari: jasa konsultasi lepas penulisan buku dengan penulis buku, penghasilan dari usaha sampingan membuka penerbitan komik dirumah dan dikelola oleh isterinya. Selain sumber penghasilan tersebut dia juga mendapat bunga deposito, penghasilan dari sewa apartemen yang masih KPR. Dia masih bingung dan merasa bahwa atas semua penghasilan yang diterimanya telah dipotong pajak.
Tentu alasan Andrea tidak sepenuhnya salah karena atas penghasilan yang diterima sudah terdapat komponen pajak penghasilan. Gaji yang diterima di rekeningnya sudah dipotong pajak sesuai kontrak kerja dengan perusahaan bahwa gaji bersih adalah net setelah pajak .Penghasilan dari usaha sampingan menurutnya masih belum terutang pajak karena masih baru, penghasilan dari jasa lepas penulisan buku dengan beberapa pengarang mungkin belum terutang pajak sehingga harus disetor tetapi tidak tahu prosedurnya untuk menghitung pajaknya.termasuk yang belum adalah penghasilan dari sewa apartemen karena penyewa tidak mau membayar pajaknya. Sedangkan pajak atas penghasilan bunga deposito sudah dipotong oleh bank tempat menyimpan uangnya.
Sekarang langkah apa yang musti ditempuh oleh Andera ? Apakah dia harus ikut pelatihan pajak atau menyewa konsultan pajak yang dia pikir akan memakan biaya yang tidak kecil. Jawabann sederhananya sejatinya Adrea mampu mandiri melakukan semua kewajiban perpajakannya tanpa bergantung kepada pihak ali yang sifatnya komersial. Di sini mungkin perlu peran pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak untuk memandu masayarakat seperti Andrea supaya dengan sendirinya mau dan mudah menghitung dan menyetorkan pajak terutang. Untuk mengansisipasi kondisi kesulitan tyang dialami oleh banyak Adrea lain maka pihak aparat pajak sudah menyediakan petugas khusus yang dinamai Account Representatif (AR).
Penjelasan yang gamblang kepada Andrea adalah terlebih dulu dia memahami dan memisahkan jenis penghasilan aktif dan penghasilan pasif. Karena perlakuan pajak dan tarif adalah berbeda atas jenis penghasilan yang diperoleh. Demikian juga mekanisme pelaporan ke Kantor Pajak yang juga berbeda. Atas semua penghasilan yang diperoleh oleh Andrea baik aktif yaitu dari pekerjaan, usaha, pekerjaan bebas maupun penghasilan pasif sehubungan perputaran modal yaitu: bunga deposito, sewa apartemen sudah diakomodasi oleh pemerintah dalam mekanisme pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) di akhir tahun. Untuk jelasnya mari kita simulasikan dengan contoh dalam bentuk angka rupiah yang seandainya diperoleh oleh Andrea dari semua jenis penghasilan selama tahun 2009.
Unsur- unsur penghasilaan adalah sebagai berikut:
1) Penghasilan gaji dan tunjangan dari kantor- net Rp 180.000.000
2) Jasa konsultasi lepas penulisan buku Rp 24.000.000
3) Penghasilan bruto dari usaha penerbitan komik Rp 450.000.000
4) Bunga deposito- net Rp 17.500.000
5) Sewa apartemen-belum dipotong pajak Rp 60.000.000
Keterangan tambahan adalah: Andre telah menikah dengan 1 isteri dan 2 anak umur 7 dan 9 tahun. PPh Pasal 21 telah dipotong oleh PT ABC sesuai formulir 1721 A1 sebesar Rp 17.590.000.PPh pasal 4 ayat 2 atas bunga deposito Rp 4.375.000. Zakat sumbangan wajib keagamaan sebesar Rp 4.500.000.
Langkah selanjutnya adalah menghitung pajak terutang dan pajak yang kurang atau lebih bayar tahun 2009 yang harus dilaporkan di SPT PPh Orang Pribadi formulir 1770.
Jumlah penghasilan neto selama tahun 2009 yang terutang PPh tariff pasal 17 adalah:
1) Penghasilan neto Dlm Negeri dari usaha/pekerjaan bebas (dihitung dg Norma Penghitungan tanpa pembukuan sesuai Kep Dirjen Pajak Nomor: 536/PJ/2000, KLU 34200, Industri Percetakan dan penrbitan dg Pengh. Neto sebesar 14,5 % x Rp 450.000.000 = Rp 65.250.000

2) Penghasilan Neto DN sehubungan pekerjaan = Rp 180.000.000

3) Penghasilan Net DN lainnya( sewa) = Rp 60.000.000

4) Penghasilan neto DN lainnya ( jasa konsultasi penulisan) = Rp 24.000.000 +

Jumlah = Rp 329.250.000
Zakat wajib keagamaan = Rp 4.500.000 -
Jumlah penghasilan Neto = Rp 324.750.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak ( K/I/2) = Rp 19.800.000-
Penghasilan Kena Pajak = Rp 304.950.000
PPh terutang tariff pasal 17 UU No 36 Th 2008:
- 5 % x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000
- 15 % xRp 200.000.000 = Rp 30.000.000
- 25 % x Rp 54.950.000 = Rp 13.737.500+ = Rp 46.237.500
Dikurangi PPh yang dipotong perusahaan selaku pemberi kerja = Rp 17.590.000 -
PPh yang kurang dibayar = Rp 28.647.500

Atas pajak dari penghasilan yang dipotong tariff final seperti bunga deposito tidak perlu digungungkan dalam penghitungan pajak terutang karena sudah dipungut dan dipotong oleh bank.

Sedikit masalah yang muncul adalah apakah Andrea harus mempunyai kewajiban untuk membayar angsuran PPh pasal 25 di tahun 2010? Apabila dilihat bahwa kriteria memiliki pekerjaan bebas atau usaha yaitu atas usaaha sampingan maka ada kewajiban untuk terutang PPh pasal 25 tahun 2010 yaitu sebesar 1/12 x PPh yang harus dibayar sendiri dan diasumsikan merupakan penghasilan yang teratur. = ½ x Rp 28.647.500 = Rp 2.387.291 (harus disetor dan diangsur setiap bulan salaam tahun 2010). Atas jumlah ini dapat berubah apabila terjadi perubahan kegiatan usaha atau perolehan penghasilan tidak teratur.
Ilustrasi tersebut adalah perhitungan sederhana yang masih perlu dirumuskan kembali apabila seorang mempunyai beragam jenis penghsilan baik dari dalam negeri maupun luar negeri sesuai konsep world wide income yang dianut UU Pajak Penghasilan. Secaar umum tata cara penghitungan pajak- pajak terutang yang diatur dalam petunjuk pengisian SPT bisa dipelajari dengan seksama tanpa harus mengorbankan waktu dan biaya yang signifikan. Persoalannya apakah masyarakat sudah cukup tahu dan trengginas dalam menghitung sendiri kewajiban pajak- pajaknya? Semoga ilustrasi sedrhana ini dapat bermanfaat dan menjadi inspirasi bagi masyarakat wajib pajak untuk ikut aktif menghitung sendiri, menyetorkan sendiri dan melaporkan sendiri sesuai moto self assessment dalam penghitungan pajak. Seandainya menghitung pajak itu gampang, tentu memudahkan bagi masyarakat dan pemerintah untuk mencapai optimalisasi penerimaan pajak bagi kebutuhan APBN.(Arles)

Selasa, 23 Februari 2010

Membayar pajak itu mudah

Beban pajak adalah sesuatu yang wajib harus dibayar oleh masyarakat wajib pajak sesuai dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh pada periode atau masa tertentu. Apakah sebagai pekerja, jasa professional dan sebagai entrepreneur maka atas income yang diperoleh terutang pajak. Pertanyaannya kemana dan bagaimana caranya untuk mudah membayar pajak?
Direktorat jenderal Pajak selaku institusi yang diberi mandat oleh pemerintah untuk memungut pajak sudah memberikan ruang dan instrument seluas-luasnya kepada masyarakat untuk membayar pajak. Loket-loket di bank persepsi dan bank devisa dan kantor pos sudah tersedia untuk menerima pembayaran pajak dari masyarakat. Akan tetapi keluhan umum adalah bahwa membayar pajak tidak mudah termasuk antri loket, mengisi formulir yang ribet kode jenis pajak yang tidak mudah dipahami oleh kalangan awam,
Pengusaha yang memiliki pekerjaan bebas dan penghasilan dari business income sudah diatur untuk menyisihkan sebagian sebesar 1 % dari omset setiap bulan untuk dibayar sebagai angsuran pajak dimuka ke kas Negara melalui bank persepsi yng ditunjuk oleh pemerintah. Hanya saja bagi wajib pajak harus meluangkan waktu atau menyuruh pegawai atau orang lain untuk antri di loket. Keluhan umum adalah jam buka loket yang terbatas sampai jam 11 pagi setiap hari kerja dan hanya dilayanai oleh satu loket setiap hari.
Perlu dipikirkan oleh pemerintah supaya masyarakat bisa membayar pajak setiap waktu 24 jam tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Bahkan saat liburan atau sedang santai berolah raga dan kongkow bisa melakukan pembayaran pajak melalui internet banking. Tetapi dibutuhkan investasi sistim dan teknologi informasi dan pelatihan SDM yang mumpuni agar masyarakat dipermudah untuk membayar pajak.
Tugas pemerintah lah untuk menginvesdasikan sebagian dana yang telah diterima dari masyarakat untuk dialokasikan membangun infrastruktur yang dapat memudahkan masyarakat untuk membayar pajak.Sehingga hasil pajak dapat dirasakan secara langsung bagi kemudahan masyarakat untuk membayar pajak
Jangan ada muncul adagium yang umum menganai pelayanan birokrasi yang sudah lumrah yaitu kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah? Harus dikembalikan alur pikiran dari perlakuan aparat pajak terhadap masayarakat wajib pajak untuk posisi yang setara.
Supaya masyarakat tidak enggan melaksanakan kewajiban perpajakannya maka pemerintah perlu melakukan terobosan dalam pengembangan sistim dan prosedur yang dapat mempermudah pembayaran pajak. Semisal dan semudah orang membayar listrik, telpon dan beban rutin melalui ATM tanpa dibatasi ruang dan batas waktu. Tidak seperti sekarang ini masih dibatasi jumlah outlet perbankan dan kantor pos serta jangka waktu.
Seandainya wajib pajak diberikan kebebasan penuh untuk membayar pajak seiring dengan filosofis self assessment yang dianut oleh pemerintah dalam paradigma pemungutan pajak. Niscaya penerimaan pajak akan semakin bertumbuh sejalan dengan peningkatan jumlah masyarakat yang telah memilii NPWP yang konom sudah menembus angka 13, 8 juta.
Okelah tidak semua pemilik NPWP telah memiliki penghasilan yang sudah mencapai batas ambang treshold untuk dikenakan pajak yaitu sebesar Rp 15.840.000 pertahun. Tetapi mengingat potensi aktivitas bisnis baik yang telah memiliki wadah usaha maupun yang masih undercover atau underground economy sangat potensial sebagai sumber penerimaan pajak.
Perlu dipikirkan bentuk kerja sama yang saling menguntungkan antara bank persepsi penerima setoran pajak dari masyarakat dan pemerintah selaku pengemban amanah yang menerima pajak. Sehingga kalangan perbankan tidak setengah hati dalam menjalankan pola yang menampung dana pajak yang sangat besar dan bisa mencapai target 1000 triliun rupiah di tahun 2015.Dengan mengendaapkan beberapa saat saja dana pajak tersebut di rekening penampungan perbankan maka sudah menjadi alternatif pendanaan jangka pendek bagi perbankan.
Tentu saja alternatif lainya seperti memberikan fee based income bagi mereka bisa menjadi cara untuk dapat mengakomodasikan kepentingan bersama. Pada hakekatnya isntitusi perbankan yang telah diatur sedemikian rupa untuk menerima setoran pajak dari masyarakat juga bertindak selaku badan usaha yang mempunyai tanggung jawab kepada pemilik. Tanpa ada imbalan atau manfaat yang diterima maka kemudahan yang ingin dinikmati masyarakat pembayar pajak masih dalam batas impian belaka.
Bila perlu masyarakat diberi akses sebebas- bebasnya dengan memiliki rekening khusus bagi tempat penampungan pembayaran pajak dan di online selama 24 jam . Sehingga ada motto pembayaran pajak ”kapan saja dimanan saja dapat dilaksanakan’ dengan berhasil. Kemudahan pembayaran pajak juga akan mendapat apresiasi dari masyarakat yang merasakan adanya peningkatan kualitas pelayanan dari pemerintah cq. Direktur Jendeeral Pajak dan jajarannya.
Dibutuhkan terobosan yang quick dan jitu untuk memberikan best service kepada wajib pajak selaku pemegang kuasa yang telah memberikan kepercayaan kepada Ditjen Pajak untuk mengelola pajak yang dibayarkan untuk kemakmuran bersama. Jadi tidak ada kesan bahwa pembayaran pajak masih dimonopoli oleh kalangan berpunya yang dianggap sebagai warga kelas atas yang merasa telah membayar pajak dalam jumlah besar walaupun masih dipertanyakan apakah sudah memenuhi ketentuan .
Seandainya masyarakat memiliki akses dan kemudahan untuk membayar pajak maka yakinlah penerimaan Negara dari sektor pajak akan dapat menjadi tumpuan bagi kelangsungan kehidupan kenegaraan kita. Tidak boleh ada kesan yang muncul kok memnbayar pajak aja susah apakah adagium ini akan terus berlangsung ditengah kondisi perekonomian yang serba tidak pasti ini?
Marilah wahai masyarakat pembayar pajak selalu memberikan respon yang membangun supaya anda juga diberi kemudahan daalam membayar pajak.Segera lunasi pajak anda tetapi bagaimana untuk mengawasi penggunannya masih merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah.Salam keberhasilan untuk anda semua rekan yang saya kagumi.(Arles)

Membayar pajak itu mudah

Senin, 30 Maret 2009

Peran Undang-undang Perpajakan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi

Oleh
Dr. ARLES OMPUSUNGGU,M.Si.,Ak


Pendahuluan
Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception Index (CPI) yang dikeluarkan oleh Transparency International beberapa waktu lalu menempatkan Indonesia pada posisi 126 dari 180 negara yang disurvey. CPI Indonesia naik 0,3 point dari 2,3 pada tahun 2007 menjadi 2,6 pada tahun 2008. Kenaikan point ini menaikkan posisi Indonesia secara cukup signifikan dari posisi 143 pada tahun 2007.
Kita patut berbangga atas hal ini, tetapi sekaligus sedih karena negara-negara semacam Samoa, Tunisia, Ghana, Kolombia, Gabon, Guatemala di atas kita. Bahkan negara serumpun, Singapura dan Malaysia telah jauh meninggalkan Indonesia.
Ibarat sebuah penyakit kronis dari sebuah masyarakat nampaknya perilaku koruptif belum bisa hilang dari segala aspek kehidupan kita.Korupsi berasal dari bahasa Inggris, yaitu corrupt, yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah atau jebol. Istilah "korupsi" juga bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang atau imbalan sehubungan dengan jabatan tanpa ada catatan administrasinya sebagai bukti transaksi.
Berbagai lembaga pemerintah yang ditugaskan untuk mencegah dan memberantas perilaku koruptif aparat terus dibentuk namun secara signifikan belum membuahkan hasil yang memuaskan. Terakhir ada harapan yang diberikan oleh kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi yang dengan tegas membidik para pelaku korupsi mulai dari pejabat, DPR, pengusaha dan masyarakat lainnya hingga masuk bui.
Proses pengungkapan kasus korupsi membutuhkan waktu cukup panjang sejak dimulainya penyidikan sampai dengan pemberkasan hingga penuntutan dan penjatuhan vonis. Jangka waktu tersebut masih harus ditambah lagi masa persidangan yang dapat berlarut-larut. Seandainya jaksa penuntut umum dalam kasus tersebut menang dalam perkara masih dibutuhkan waktu lagi sampai keputusan yang tertinggi mempunyai kekuatan yang tetap. Tujuan utama pemberantasan korupsi untuk menyelamatkan asset Negara yang hilang tidak mampu dihasilkan oleh penguingkapan kasus pidana korupsi oleh aparat hukum. Penerimaan Negara yang berhasil diselamatkan relative kecil sehingga pengungkapan kasus korupsi belum mampu menimbulkan efek jera bagi pelaku dan calon pelaku.
Untuk mengisi kekosongan ruang penyelamatan kerugian Negara dibutuhkan suatu terobosan aturan dan Undang-undang yang mampu mendorong sistem pengungkapan kasus korupsi mengutamakan juga upaya pennggantian kerugian Negara yang hilang. Disinilah peran Undang-Undang Perpajakan dapat memberi kontribusi untuk kepentingan penyelamatan kerugian Negara. Pelaku korupsi dapat dijerat dengan Undang-undang Pajak sebagai pelaku pidana pajak sehingga lebih mudan untuk langkah penyelamatan kerugian Negara.
Lebih penting adalah upaya pencegahan supaya perilaku korupsi tidak terjadi karena penindakan terhadap pelaku korupsi tidak mudah dilaksanakan.

Tujuan dan Manfaat penulisan
Tulisan ini diharapkan mempunyai tujuan yaitu:
(1) Mengurai sejarah korupsi yang terjadi di Indonesia sebagai suatu perilaku budaya yang merusak segala tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara
(1) Membahas lebih lanjut secara telaah akademis mengenai pencegahan dan pemberantasan korupsi melalui penerapan UU Perpajakan baik UU KUP dan UU PPh
(2) Memaparkan perannan UU Perpahjakan terutama UU KUP dan UU PPh dalam mencegah dan memberantas pidana korupsi yang dikaitkan dengan proses penyelesaian kasus pidana pajak.

Manfaat penulisan diharapakan yaitu:
(1) Sebagai masukan bagi peserta terutama mahsiswa dalam mempelajari lebih lanjut permasalahan menyangkut korupsi yang merupakan tindak pidana dan mengetahui peran UU Perpajakan terutamam UU KUP dan UU PPh dalam mencegah dan memberantas pidana pajak dan pidana korupsi.
(2) Sebagai bahan telaah lanjutan bagi peserta dalam melakukan kajian lebih lanjut secara akademis mengenai permasalahan yang menyangkut proses penyelesaian kasus pidana korupsi dan pidana pajak.


Pembahasan materi

Tinjauan singkat sejarah korupsi di Indonesia
Korupsi di Indonesia sudah menjadi kejahatan struktural, kekerasan sebagai hasil interaksi sosial yang berulang dan terpola yang menghambat orang untuk memenuhi kebutuhan dasar. Korupsi sudah seperti mafia. Munculnya organisasi model mafia menunjukkan gejala krisis institusional negara di mana ketidakadilan lebih dominan daripada keadilan. Korupsi merajalela sampai mengaburkan batas antara yang boleh dan dilarang, yang legal dan ilegal, pelanggaran dan norma.
Korupsi sudah mengakar di negeri ini sejak jaman penjajahan Belanda diawali dengan orang pribumi sebagai pejabat menjadi kaya karena mencuri dari perusahaan. Adanya penghapusan jasa upeti kepada para aristrokrat pribumi menjadi gaji merupakan peluang untukmendapat keuntungan lebih banyak. Termasuk perluasan pemungutan pajak menjadi peluang untuk menekan masyarakat membayar lebih dari kewajiban yang seharusnya.
Praktik korupsi berlanjut di jaman kemerdekaan terutama pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo sebagaimana diteliti oleh Herbert Feith dalam Setiawati, Dewi (2008) bahwa korupsi terjadi karena secara umum gaji pegawai pemerintah hanya cukup untuk biaya hidup selama dua minggu. Akibatnya korupsi merajalela dan terjadi di semua lini.
Pemerintah orde lama dalam upaya memberantas korupsi pernah membentuk Undang-undang Keadaan Bahaya yang dikenal dengan Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) diketuai oleh Jend A H Nasution dan anggota Prof M Yamin dan Roeslan Abdul Gani. Para pejabat yang korup mengadakan perlawanan dan bersikeras mempertangungjawabkan ke presiden Soekarno sehingga Paran berakhir tanpa hasil.
Lembaga serupa dibentuk yaitu Operasi Budhi diketuai kembali oleh AH Nasution untuk menyeret pelaku korupsi terutama pejabat perusahaan negara dan lembaga negara ke pengadilan. Walau berhasil menyelamatkan uang negara senilai Rp 11 miliar tetap saja dihentikan tanpa alasan jelas. Kemudian pemerintah membentuk lembaga baru Komando Tertinggi Aparatur Revolusi (KONTAR) diketuai langsung oleh Presiden Soekarno dibantu Soebandrio dan Letjen A Yani dengan hasil yang sangat minim.
Pemberantasan korupsi di era pemerintahan orde baru diawali adanya persepsi negatif presiden Soeharto terhadap peninggalan penmerintahan orde baru dengan membentuk Tim pemberantasan Korupsi (TPK) diketuai Jaksa Agung. Tim ini tidak memberikan kontribusi yang nyata sehingga dibentuklah Komisi Empat beranggotakan tokoh senior bersih yaitu Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo, dan A Tjokroaminoto untuk membersihkan Departemen Agama, BULOG, CV Waringin, PT Mantrust, TELKOM dan PERTAMINA dari jeratan korupsi. Namun Komisi Empat tidak bisa bekerja maksimal karena tidak meiliki landasan hukum formal yang kuat sehingga. dibentuk lagi Operasi tertib (OPSTIB) untuk memberantas korupsi di instansi pemerintah dan BUMN.
Berbagai upaya ditempuh pemerintah untuk mengikis korupsi mulai pembentukan Badan/Institusi pencegahan dan penindakan korupsi seperti Tim Pemberantasan Korupsi, Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat negara (KPKPN), Lembaga Obudsman, Tim Gabungan Pemberantasan Korupsi. Namun karena institusi tersebut menggunakan metode top down dan selalu menekankan kepada aspek penindakan maka tiddak mampu memberi efek jera kepada pelaku korupsi untuk menghentikan tindakan korupsi.
Fenomena di jaman Orde Baru pemerintahan Soeharto korupsi semakin menjadi-jadi di semua tingkat mulai pemrintahan paling rendah hingga presiden. Akibat terburuk korupsi telah merusak tatanan kehidupan masyarakat dengan alasan minimnya gaji pegawai negeri menjadi pemicu praktik korupsi. Bentuk korupsi terjadi mulai dari yang halus hingga kasar seperti penyuapan, pemerasan dan pencurian aset Negara. Sedangkan bentuk halus menurut UNCAC dengan menjanjikan atau menawarkan keuntungan dalam kapasitas tugas dan permohonan langsung atau tidak langsung keuntungan yang tidak semestinya dengan melawan hukum.
Harapan baru untuk pemberantasan korupsi muncul di jaman reformasi pasca kejatuha Soeharto dengan dibentuknya Lembaga Super Body Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan UU No 30 Th 2002 dengan tugas mencegah , menindak atau memberantas korupsi . Nampaknya era pemberantasan korupsi mulai memberikan hasil yang signifikan dengan terseretnya para pelaku korupsi mulai kalangan swasta, pejabat pemerintah, kalangan DPR, Petinggi Parpol, aparat penegak hukum sebagai penindak korupsi sendiri yaitu jaksa, Polri tidak luput dari perkara jeratan korupsi.
Korupsi telah menjadi kejahatan yang amat mengakar dan habitus buruk bangsa. Korupsi menyentuh sendi-sendi kekuasaan sampai sistem peradilan, aparat penegak hukum dan DPR. Semua pihak seolah-olah menjadi terbiasa dengan perilaku korupsi yang telah menyentuh seluruh tingkat kehidupan masyarakat.
Walaupun belum mengarah pemberantasan korupsi hingga ke akar-akarnya setidaknya efek jera yang timbul akan mampu meredam niat masyarakat untuk berbuat tindakan yang koruptif. Upaya penghilangan perilaklu korupsi tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada lembaga KPK dan aparat lain seperti Kejaksaan dan POLRI. Semua lembaga baik institusi kampus, LSM, perusahaan, Pemerintah pusat dan daerah harus bersama masyarakat sepakat untuk mencegah dan menindak terjadinya perilaku korupsi yang telah merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Strategi pemberantasan korupsi selayaknya ditempuh melalui upaya mulai penindakan (represif) dan pencegahan (preventif). Aksi penindakan telah dilaksanakan KPK dengan menangani kasus pidana korupsi dalam satu muara pengadilan Adhoc tindak pidana korupsi. Sedangkan upaya pencegahan diawali dengan pelaporan harta kekayaan penyelenggaran negara (LHPKN), gratifikasi, pendidikan, monitoring dan kampanye sosilaisasi anti korupsi.
Sebagaimana dirilis oleh Masyarakat Transparansi Indonesia (2008), bahwa korupsi telah menyebabkan rusaknya tatanan kehidupan berbangsa yaitu:
1. Korupsi mendelegetimasi proses demokrasi dengan mengurangi kepercayaan publik terhadap proses politik melalui politik uang.
2. Korupsi mendistorsi pengambilan keputusan pada kebijakan publik, membuat tiadanya akuntabilitas publik, dan menafikan the rule of law. Hukum dan birokrasi hanya melayani kepada kekuasaaan dan pemilik modal.
3. Korupsi meniadakan sistim promosi dan hukuman yang berdasarkan kinerja karena hubungan patron-client dan nepotisme.
4. Korupsi mengakibatkan proyek-proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga mengganggu pembangunan yang berkelanjutan.
5. Korupsi mengakibatkan kolapsnya sistem ekonomi karena produk yang tidak kompetitif dan penumpukan beban hutang luar negeri.
Korupsi yang sistemik menyebabkan:
1. Biaya ekonomi tinggi oleh penyimpangan insentif;
2. Biaya politik oleh penjarahan atau penggangsiran terhadap suatu lembaga publik; dan
3. Biaya sosial oleh pembagian kesejahteraan dan pembagian kekuasaan yang tidak semestinya.
Sebagaimana analisis yang dikemukakan oleh Tunakotta (2009: 3), bahwa persepsi mengenai korupsi dapat ditelaah dari sisi permintaan dan penawaran. Sisi permintaan memperlihatkan Corruption Perception Indexatau Indeks Persepsi Korupsi) dan Global Corruption Barometer (GCB) yang dirilis oleh lembaga kredibel Transparency Internacional (TI). Sedangkan sisi penawaran perihal persepsi korupsi dilihat dari peringkat 30 negara pengekspor utama pemberi suap dengan indeks Bribe Payer’s Index
Lebih lanjut dengan acuan CPI Indonesia sebagai indikator korupsi memetakan peringkat Indonesia diantara jumlah negara yang disurvai setiap tahun memperlihatkan skor yang masih berada di kisaran negara-negara peringkat terendah. Peringkat Indonesia yang dirilis terakhir tahun 2008 menurut TI (2009) di nomor 126 untuk negara-negara ASEAN adalah nomor 3 diatas Filipina yang berada di nomor 141 dan Myanmar di nomor 178. Hal yang sama dari indeks GCB tahun 2007 yang dirilis oleh Gallup Internastional menunjukkan bahwa responden Indonesia yang membayar sogok sebanyak 31 % sama dengan Filipina dan jauh diatas Vietnam (14 %) dna malaysia (6 %) dan hanya dibawah kamboja ( 72%).
Hasil GCB memberikan informasi mengenai sektor atau lembaga di Indonesia yang terkorupyaitu tahun 2005 sd. 2007 sebagai berikut:
Tabel 1
HASIL SURVEI TII TENTANG LEMBAGA TERKORUP DI INDONESIA
NO LEMBAGA 2005 2006 2007
1 Partai Politik 4.2 4.1 4.0
2 Parlemen 4.0 4.2 4.1
3 Bisnis/ Sektor swasta 3.5 3.6 3.1
4 Media 2.4 2.8 2.5
5 Tentara 2.9 3.3 3.0
6 LSM 2.4 2.9 2.8
7 Lembaga Keagamaan 2.1 2.3 2.2
8 Lembaga Pendidikan 3.0 3.3 3.0
9 Lembaga Peradilan 3.8 4.2 4.1
10 Pelayanan Kesehatan 2.7 3.0 2.8
11 Polisi 4.0 4.2 4.2
12 Lembaga Perijinan 3.5 3.6 3.8
13 Lembaga Utiitas 3.0 2.9 3.1
14 Otoritas Pajak 3.8 3.4 3.6
Sumber: Hasil Survei Transparency International Indonesia ( TII) September 2008 atas 14 instansi publik terkorup tahun 2005 sd. 2007
Kemudian dari hasil survai yang dilakukan oleh lembaga yang sama (TII) terhadap 15 lembaga pelayanan public Indonesia yang rawan suap selama tahun 2008 menunjukkan hasil sebagai berikut:
Tabel 2
Sektor atau Lembaga terkorup di Indonesia 2008
Sektor/Lembaga
Skor
2008
Kepolisian 4,8
Bea dan Cukai 4,1
Kantor Imigrasi 3,4
DLLAJR 3,3
PEMDA/KOTA 3,3
BPN 3,2
PELINDO 3
PEngadilan 9,3
Depkumham 2,1
Angkasapura 2,1
Kantor Pajak Daerah 1,7
DEPKES 1,5
Kantor Pajak Pusat 1,4
BPOM 1,4
MUI 1,0

Sumber: Hasil Survei Transparency International Indonesia ( TII) September 2008 atas 15 instansi publik rawan suap berdasarkan urutan.

Indeks Persepsi Korupsi memfokuskan definisi korupsi sebagai penyalahgunaan wewenang pada kantor-kantor publik untuk kepentingan pribadi. Nilai IPK dicerminkan oleh pemahaman praktik korupsi yang mencakup survai pelaku bisnis dan pembuat analisa nasional dan para pakar dari dalam maupun luar negara yang disurvai.
Penurunan Indeks Persepsi Korupsi dari Indonsesia yang diikuti penurunan IPK beberapa instansi pelaynan publik menunjukkan bahwa perbuatak korupsi bisa berkurang dengan melakukan upaya perbaikan pelayanan masyarakat. Penting juga diuapayakan penerapan transparansi dan konsistensi peraturan perundan-undangan untuk menciptakan suatu pelayanan yang efisien dengan menerapkan prinsi-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik yaitu good corporate governance (gcg) secara berkesinambungan.
Prinsip pelaksanaan gcg sebagaimana disarikan oleh Setyawati, Deni (2008) ditopang oleh tiga pilar yang bersinergi untuk mencapai suatu kepatuhan secara sukarela yaitu pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Pemerintah yang dikuasakan oleh rakyat untuk membuat aturan bersama parlemen seyogianya harus menciptakan perundang-undangan yang dapat menunjang dunia usaha dan secara konsisten menerapkan penegakan aturan (law enforcement). Dunia usaha selaku pelaku pasar harus berperanm mencegah terjadinya korupsi,kolusi dan nepotisme di setiap pelaksanaan urusan bisnis baik sesama kalangan swasta dan dengan pemerintah. Masyarakat selaku pihak yang menggunakan jasa perusahan dan mematuhi perundang-undangan harus menunjukkan kepedulian berupa kontrol sosial terhadap penyelenggara negara dan duni usaha.

Landasan hukum dalam UU Pajak dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi
Masalah korupsi yang dittinjau dari pelanggaran UU Perpajakan adalah menggunakan Undang-undang Pajak Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 36 tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (UU KUP). Penentuan apakah suatu jenis penghasilan merupakan objek pajak diatur UU PPh, sedangkan ketentuan yang mengatur tentang prosedur pemenuhan kewajiban perpajakan beserta sanksinya diatur UU KUP.
Sesuai dengan salah satu tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dari KPK berdasarkan UU No 20 tahun 2001 diantaranya adalah meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi terkait maka dapat dijadikan untuk meneliti ketaatan pemenuhan perpajakan. UU PPh tidak membedakan apakah suatu jenis penghasilan diperoleh secara halal atau tidak. Sepanjang memenuhi kriteria Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan yang mengatur tentang definisi "penghasilan", yaitu:
"....setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:..."
Sebagaimana ringkasan beberapa modus operandi tindak pidana korupsi yang sering muncul menurut Tuanakotta (2009: 14) dan Rohim (2008:20) berasal dari 7 (enam) perilaku di masyarakat yaitu:
1.Pemberian suap-menyuap/sogok
2.Penggelapan dalam jabatan
3.Pemalsuan
4.Pemerasan
5.Perbuatan curang
6.Benturan kepentingan/Nepotismo
7.Penerimaan gratifikasi
Pidana pajak yang telah disidangkan dipengadilan umum menurut Rohim (2008) berasal dari pemalsuan faktur pajak bermasalah/fiktif yang ditengarai dilakukan oleh wajib pajak dan atau bekerja sama dengan konsultan pajak dan atau dengan oknum di lingkungan Ditjen Pajak sendiri.
Pada dasarnya timbulnya kasus korupsi bisa dicegah melalui adanya transparansi dalam dokumen pembukuan preusan. Sesuai dengan konvensi yang ditetapkan oleh Badan Anti Korupsi PBB atau United Nations Convention Against Corruption ( UNCAC) sebagaimana diringkas oleh Setyawati (2008: 10) bahwa pembukuan dan laboran keuangan perusahaan berperan penting dalam upaya pencegahan terjadinya tindakan korupsi di perusahaan. Indikator yang dapat menjadi petunjuk adalah:
(1) Adanya catatan-catatn d iluar pembukuan perusahaan
(2) Adanya transaksi diluir pembukuan dan tidak teridentifikasi dengan jelas
(3) Pencatatan pengeluaran fiktif seolah-olah ada
(4) Pencatatan kewajiban (utang) yang fiktif tanpa disertai tujuan yang benar
(5) Penggunaan dokumen pembukuan yang palsu
(6) Pemusnahan dengan sengaja dokumen pembukuan yang lebih awal dari yang ditentukan olehketentuan Undang-undang (hukum).
Pada dasarnya, dari sudut pandang peraturan perundang-undangan perpajakan, orang yang korupsi dapat dijerat melalui pembuktian bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana fiskal. Permasalahan utama adalah bagaimana menerapkan ketentuan UU Perpajakan supaya uang hasil korupsi tersebut dapat menjadi sumber penerimaan Negara.
Melalui koordinasi yang baik diantara aparat penegak hukum baik KPK, Kejaksan, POLRI dengan Ditjen Pajak dapat dicapai suatu mekanisme penanganan kasus pidana korupsi yang bernuansa pidana pajak. Begitu kasus korupsi yang menyangkut subjek pajak baik orang pribadi maupun badan mencuat maka segera diteliti pemenuhan kewajiban perpajakan oleh subjek pajak bersangkutan. Terlebih dahulu Ditjen Pajak meneliti status terdaftar sebagai wajib pajak sehingga mempunyai hak dan kewajiban dari sisi perpajakan.
Apabila wajib pajak misalnya Mr X (perorangan) yang tersangkut kasus pidana korupsi ternyata dari sisi UU Perpajakan terbukti tidak memenuhi kewajiban diantaranya tidak mendaftarkan diri , tidak mengisi SPT atau mengisi SPT tetapi isinya tidak benar makaa dengan segera DJP melalui Penyidik Pegawai Negeri Sipil selaku Penyidik Pajak secara segera bisa menjerat ke dalam kasus pidana pajak tanpa menunggu proses penyelesaian kasus pidana korupsi yang ditanganai KPK.
UU Perpajakan yaitu UU No 28 Tahun 2007 tentang KUP pasal 38, 39 telah memberi ruang yang cukup untuk menjerat kasus pidana pajak dengan ancaman penjara maksimal enam tahun penjara dan denda paling tinggi empat kali jumlah pajak yang terutang. Proses penanganan kasus pidana pajak dapat dilaksanakan secara simultan tanpa menghentikan penagnanan kasus pidana korupsi sehingga pemerintah dapat mempercepat upaya penyelematan keuangan negara yang diperoleh dari kasus pidana pajak.




Gambar 1
Alur proses penentuan perkara korupsi menjadi kasus pidana pajak




















Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3), U KUP, setiap orang pribadi yang tinggal di Indonesia adalah subjek pajak (orang pribadi) dalam negeri. Seorang subjek pajak dalam negeri akan menjadi wajib pajak apabila memperoleh penghasilan melebihi penghasilan-tidak-kena-pajak (PTKP) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang PPh. Otoritas Perpajakan dapat segera menelusuri ketidak sinkronan antara Surat Pemberitahuan Tahunan WP Orang Pribadi yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi dengan sinyalemen kepemilikan dana hasil korupsi yang ditemukan oleh penyidik KPK dan Kejaksaan.
Ditjen Pajak dapat memilih apakah melakukan penyidikan terhadap indikasi ketidak benaran SPT yang dilaporkan oleh terdakwa korupsi yang selanjutnya diarahkan dan disidik dengan ancaman pidana penjara dan mengganti kerugian Negara sesuai pasal 38 dan 39 UU KUP. Sebaliknya dengan alasan kepentingan penerimaan Negara maka kasus penyidikan pidana pajak dapat dihentikan dan dilanjutkan dengan penerbitan Surat ketetapan pajak sebagai indikasi jumlah kerugian Negara.
Walaupun penyelesaian kasus korupsi memakan waktu lama namun disisi lain upaya menagih hasil korupsi yang ditempuh dari penerbitan SKP atas penghasilan koruptor akan lebih mudah untuk diapklikasikan. Aparat pajak dapat membidik sumber uang diperoleh oleh koruptor dan menempatkan sebagai sumber penghasilan yang menjadi objek pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) UU PPh tanpa melihat apakah sumber penghasilan tersebut halal atau hasil korupsi.
Namun upaya menjerat pelaku korupsi ke dalam ranah perpajakan tidak mudah dilaksanakan. Para ahli hukum dan pihak yang berperkara akan memempertahankan penanganan proses peradilan koruptor hingga selesai dalam proses Criminal Justice System mulai peradilan tingkat pertama (PN) hingga proses Peninjauan Kembali (PK) yang memakan waktu lama.
Disinilah diperlukan kearifan berbagai pihak instansi terkait untuk merumuskan pemikiran alternatif penyelesaian kasus korupsi menjadi kasus penagihan dengan SKP sesuai UU Perpajakan. Seyogianya memang apabila kasus pidana korupsi diarahkan menjadi kasus penagihan pajak maka tentu menimbulkan sisi pertanyaan yaitu apakah kasus pidana korupsi dapat serta merta dihapuskan demi penmyelesaian kasus penagihan pajaknya?
UU Tindak Pidana Korupsi sendiri sebagaimana diatur dalam Undang-undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undan-undang Nomor 20 Tahun 2001 mengharuskan kepada terpidana korupsi untuk membayar ganti rugi disamping menjalankan hukuman pidana penjara. Sehingga disinyalir akan memperpanjang kerumitan penanganan pidana korupsi yang dibidik sekaligus dengan pengenaan penagihan pajak dengan Undang-undang Perpajakan.
Persoalannya siapa yang didahulukan untuk tujuan mulia memberantas pidanak korupsi dan upaya mendapatkan penerimaan Negara lebih cepat masuk ke kas Negara dari hasil korupsi yang dilakukan oleh pelaku korupsi. Kasus pidana korupsi sebaiknya tidak diarahkan menjadi kasus pidana pajak karena akan mengalami jalan buntu dalam penyelesaiannya yang bertele-tele dan melelahkan.
Melalui penerapan mekanisme UU Perpajakan yaitu UU KUP dan UU PPh dalam mekanisme sistem perpajakan berdasarkan self assesment sudah cukup untuk menjerat pelaku korupsi ke dalam proses penagihan uatng pajak yang belum dilaporkan. Walupun siterdakwa pidana korupsi belum terdaftar sebagai wajib pajak maka aparat pajak dapat menetapkan secara jabatan apabila ditemukan adanya sumber penghasilan yang telah berjumlah lebih besar dari Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang PPh.

Penyelesaian Kasus Korupsi melalui Penyidikan Pidana Pajak
Penyidikan pidana pajak merupakan upaya terakhir (ultima remedium) dari serangkaian proses penegakan hukum (law enforcement) UU Perpajakan Indonesia yang didasarkan pada filosofi self assessment. Definisi penyidikan pajak sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 31 UU KUP adalah ”serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya”.
Proses penyidikan pidana pajak didahului oleh tindakan pemeriksaan bukti permulaan untuk mendapat bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana dibidang perpajakan. Sebagai rangkaian dari penegakan hukum terlihat bahwa pemeriksaan bukti permulaan merupakan awal penentuan penyelesaian sengketa adminsitrasi pajak menjadi sengketa pidana sebagai mana gambar 2 berikut:
Gambar 2
Alur proses pemeriksaan bukti permulaan
sumber: Per Menkeu no: 202/PMK.03/2007 tg 28 des 2007

Suatu kasus pelanggaran yang memenuhi kriteria pelanggaran pidana pajak sesuai pasal 38 dan 39 UU KUP baru bisa dilanjutkan ke tingkat penyidikan apabila tersangka tidak mampu membayar jumlah taksiran kerugian negara berikut sanksi 4 kali lipat sebagaimanan dimaksud dalam pasal 44 B UU KUP. Terlihat bahwa tujuan penegakan hokum termasuk penyidikan pajak seolah-olah dikesampingkan apabila demi tujuan penerimaan Negara yang dapat dihentikan.

Gambar 3
Alur penyidikan pidana pajak













Gambar4
Pengertian Penyidikan Pidana Pajak


Demikian pula apabila proses penyidikan pidana pajak tidak dilanjutkan ke proses penuntutan di pengadilan umum dengan alasan tertentu dapat dilakukan penghentian penyidikan. Alasan penghentian penyidikan pidana pajak adalah:
1 Berdasarkan pertimbangan penyidik pajak yaitu:
A Tidak terdapat cukup bukti untuk dilakukan penungtutan
B Peristiwa bukan tindak pidana
C Peristiwanya telah daluwarsa ( lampau 10 tahun sejak terutangnya masa pajak)
D Tersangka meninggal dunia
Terhadap kasus kasus nomor a dan b dilanjutkan dengan penerbitan Surat ketetapan Pajak dengan pengenaan sanksi administrasi sebesar paling tinggi empat kali pokok pajak. Sedangkan kasus c dan d ditindak lanjuti oleh Kepala Kanwil DJP dengan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan.
2 Berdasarkan permohonan WP atau kuasa sesuai ketentuan pasal 44 B UU KUP sepanjang belum dilimpahkan ke pengadilan umumsetelah membayar atau melunasi terlebih dahulu pokok pajak berikut denda empat kali lipat tanpa menunggu diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak. Kemudian Dirjen Pajak mengusulkan ke Menteri Keuangan untuk meneruskan ke Jaksa Agung yang menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan.
Tentu muncul perbedaan penanganan antara kasus pidana pajak dan kasus pidana korupsi perihal penghentian penyidikan. Dalam proses penghentian penyidikan pajak secara otomatis akan menhilangkan tuntutan hokum setelah WP melunasi tuntutan kerugian Negara. Sesuai dengan analisis Burton,Richard dan Ilyas Wirawan (2008:158-159) mempertanyakan kemungkinan terjadinya persepsi yang berbeda dalam mengintreprtetasikan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat apabila kasus pidana pajak serta merta dihentikan setelah adanya pelunasan pokok pajak berikut denda oleh wajib pajak.
Di satu sisi akan terdapat kepastian hukum berupa penyelesaian penagihan pajak melalui UU Perpajakan namun disisi lain akan mengusik rasa keadilan di dalam masyarakat. Sesuai dengan pendapat Prodjodikoro,Wirjono dalam Burton,Richard dan Ilyas Wirawan (2008:159) mengemukakan bahwa tujuan dari hukum pidana termasuk penerapan hukum pidana korupsi adalah untuk memenuhi rasa keadilan. Lebih lanjut diuraikan bahwa penyelesaian tindak pidana dengan hanya membayar atau melunasi denda ditambah sanksi adminsitrasi akan menimbulkan preseden kepada masyarakat untuk menyelesaiakan perkara korupsi dengan penyelesaian sanksi adminsitrasi tanpa menjalanai hukuman penjara.
Pemerintah sepertinnya mementingkan aspek penerimaan Negara sebagai prioritas dalam penanganan kasus pidana pajak walaupun tidak mengesampingkan pengenaan sanksi pidana . Sesuai dengan tujuan hukum menurut pendapat Gustav Radbruch dalam Burton,Richard dan Ilyas Wirawan (2008:160) yaitu mencapai suatu kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Nampaknya hukum pajak lebih dominan menyelesaikan kasus pidana pajak dengan tujuan memberi kepastian dan kemanfaatan yaitu kepastian tercapainya penerimaan Negara dari sektor pajak.
Jelas bahwa UU Perpajakan memberi peluang yang seluas-luasnya kepada otoritas pajak dalam hal ini Dirjen Pajak untuk lebih mengedepankan pengenaan sanksi adminsitrasi dari pada penhgenaan sanksi pidana kepada wajib pajak yang melanggar ketentuan UU Perpajakan. Hukum pajak melalui penerapan UU Perapajakan bukan untuk memenuhi penjara dengan pelanggar UU Pajak melainkan menuju manfaat kepentingan optimalisasi penerimaan Negara.

Penutup/kesimpulan

Langkah-langkah untuk mencegah korupsi yang berkaitan dengan pidana pajak:
1 Tingkatkan kesejehateraan pegawai pemerintah dengan peningkatan pendapatan atau remunerasi karyawan dengan diiringi penegakan didiplin berupa sanksi yang setimpal secara konsisten sehingga mengurangi niat pegawai tesebut melakukan perbuatan suap atau korupsi.
2 Harus diberikan akses langsung kepada masyarakat pembayar pajak untuk mengetahui penggunaan pajak yang dilunasi sehingga memotivasi masyarakat untuk membayar pajak dengan benar tanpa berupaya melakuklan pengemplangan pajak.
3 Terapkan prinsip good corporate governance dalam tata kelola pemerintahan dengan memperjelas reward and punishment serta tanggung jawab pekerjaan.
4 Tingkatkan kualitas SDM pegawai pemerintah supaya dapat menjadi motor penggerak roda pembangunan
5 Sinkronisasikan langkah koordinasi antara instansi penegak hukum yang bertugas memberanta korupsi dengan Direktorat jen deral Pajak untuk mengedepankan penyelesaian pengusutan pemenuhan kewajiban perpajakan apabila seseorang atau perusahaan diduga melakukan tindak pidana korupsi.
6 Efektifkan sosialisasi pencegahan korupsi kepada kalangan masyarakat terutama pelajar/mahasiswa untuk dapat mendorong langkah pencegahan korupsi yang lebih baik dari pada penindakan.
Langkah-langkah untuk memberantas/menindak korupsi yang diindikasikan sebagai pidana pajak:
1 Memberlakukan koordinasi berupa penelitian bersama antara Komisi Pemberantasan Korupsi beserta aparat penegak hukum lainnya yang sedang menangani kasus pidana korupsi dan Direktorat jenderal Pajak yaitu kewajiban pemenuhan perpajakan dari tersangka korupsi untuk diteliti dan diarahkan penanganannya menjadi pidana pajak.
2 Mengevaluasi kembali ketentuan hukum penanganan kasus korupsi yang secara bersamaan dilakukan penyidikan kasus pidana pajaknya supaya tidak terjadi dualisme dan kesan penanganan tumpang tindih yang berpotensi mengalami kegagalan dalam pelaksanaannya.
3 Mengedepankan upaya penerimaan Negra dari pengembalian kerugian Negara yang diindikasikan berasal dari tindak pidana pajak dengan menggunakan mekanisme penghentian penyidikan sebelum dilakukan penuntutan oleh jaksa ke pengadilan umum yaitu sesuai pasal 44 B UU KUP.


Referensi
Ilyas,Wirawan B dan Burton,Richard, 2008, Hukum Pajak, Edisi 4, Penerbit Salemba Empat Jakarta
Transparency International Indonesia, 2008, Indeks Persepsi Korupsi 2008,http://Wikipedia.org
Transparency International Indonesia, 2009, Indeks Indonesia naik signifikan, http://www.ti.or.id
Rachmanto Surahmat, Peran UU Perpajakan dalam memberantas korupsi, http://www.addthis.com/bookmark/php
Rohim,SH, 2008, Modus Operando Tindak Pidana Korupsi, Pena Multi Media Depok
Setyawati, Deni, 2008, KPK Pemburu Corruptor, Pustaka Timar Jogyakarta
Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan
Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001
Tunakotta, Theodorus M, 2009, Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, Salemba Empat, Jakarta