Rabu, 15 September 2010

Dilema Tax Ratio RAPBN 2011

Pokok- pokok RAPBN 2011 yang disampaikan oleh presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) di depan sidang paripurna lengkap DPR-MPR-DPD tanggal 16 Agustus 2010 yang menargetkan penerimaan Negara dari dalam negeri dan hibah sebesar 1.086,4 triliun rupiah dirasa belum mencerminkan adanya target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3 %. Masih adakah optimisme bahwa penerimaan Negara dari sektor pajak dan bukan pajak mampu menutupi rencana pengeluaran masing- masing lembaga Negara dan masyarakat di tahun 2011?.
Sepertinya penerimaan pajak yang ditarget sebesar 839,5 triliun atau mencapai 77 % dari total pendapatan Negara dan hibah masih belum digdaya untuk menutupi pembelanjaan APBN. Walau dibantu dengan penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 243,1 triliun yang mencapai 22% dari pendapatan Negara dan hibah tetap saja pembelanjaan defisit masih menganga.
Sungguh ironi bahwa kenaikan penerimaan dalam negeri yang dimotori oleh peneriman pajak tidak naik secara dinamis seiring dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan mencapai 6,3 % di tahun 2011 mendatang. Target penerimaan pajak yang diukur dari nisbah terhadap Produk Domestik Bruto yang disasar hanya sebesar 12,0 % dirasa berbagai kalangan baik akademisi dan masyarakat belum maksimal.
Sejalan dengan Bahl (1971) yang menegaskan bahwa melalui tax effort akan diketahui adanya selisih jumlah penerimaan pajak aktual dibanding dengan potensi penerimaan pajak berdasarkan taxable capacity. Sehingga upaya pemerintah untuk melakukan pemajakan akan terarah sesuai dengan potensi penerimaan pajak yang diharapkan. Dibutuhkan upaya sporadis untuk mewujudkan kapasitas kemampuan pajak (taxable capacity) yang dipunyai oleh perekonomian dan masyarakat Indonesia menjadi penerimaan Negara yang nyata. Terutaman menggali potensi underground economy yang belum dijamah dengan optimal.
Tax ratio dan tax effort
Perdebatan masalah faktor pembilang dan penyebut menimbulkan pro dan kontra bahwa kisaran angka tax ratio masih terlalu rendah. Untuk ukuran Indonsia yang telah menjadi ikon pertumbuhan ekonomi negara- negara emerging market di era abad ke 21 in maka angka tax ratio sebesar 11,9 % di tahun 2010 dirasakan teralu kecil. Walau belum ada kesepakatan dan predikat dari lembaga pemeringkat yang kredibel untuk menentukan indikator jenis penerimaan apa saja yang boleh dimasukkan sebagai komponen penerimaan perpajakan supaya tampilan tax ratio yang tidak jomplang dengan Negara tetangga dan Negara jiran serumpun seperti Malaysia yang telah mencapai 15,5 % tahun 2009.
Boleh saja Asian Development Bank (2010) dan Bank Pembangunan Islam menilai bahwa kaitan antara tax ratio dan ukuran kinerja pemerintah (cq Ditjen Pajak) dalam menghimpun penerimaan Negara termasuk yang terendah di Negara-negara Asia tenggara. Tax effort bagi Indonesia sebesar 13,3 % terhadap PDB dengan pembanding Malaysia mencapai 15,3 %, Thailand 15,2 % dan Filipina 14,1 % dirasa masih rendah.
Dua sisi yang saling melengkapi dan menentukan dalam upaya pemerintah menggenjot penerimaan pajak sehingga dapat meningkatkan angka tax ratio di tahun 2011. Sesuai pemikiran Chelliah (1971) di negara- negara berkembang bahwa sistem perpajakan berdasarkan self assessment perlu memperhatikan dua faktor yaitu: (1) kemampuan masyarakat untuk membayar pajak (ability to pay tax) dan (2) kemampuan pemerintah untuk mengumpulkan pajak.
Sisi kemampuan masyarakat tentu juga dipengaruhi adanya kemauan yang didasari adanya kepatuhan sukarela (self compliance) membayar pajak. Sistem pemungutan pajak yang sudah diadminsitrasikan sedemikian rupa masih belum mampu menggugah peningkatan signifikan penerimaan pajak. Tugas berat Direktorat Jenderal Pajak untuk mengimplementasikan kebijakan pemungutan pajak yang senantiasa dapat mendorong kegiatan roda perkeonomian sektor riil sehingga berkorelasi antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penerimaan pajak.
Posisi pemerintah yang harus mengenjot peningkatan penerimaan pajak agak berseberangan dengan tuntutan dunia usaha yang menginginkan adanya keringanan pajak yang diharapkan menjadi stimulus bagi perekonomian secara keseluruhan. Kebijakan terhadap sektor industri strategis padat modal dan berhubungan dengan infrastruktur yang memberikan berbagai fasilitas termasuk usulan keringanan pajak agaknya tidak sinkron dengan upaya mempercepat peningkatan tax ratio yang diinginkan bersama antara pemerintah dan DPR.
Upaya menaikkan angka tax ratio adalah menggali potensi- potensi sektor usaha yang masih belum maksimal dalam upaya pemajakannya. Terutama penghasilan masyarakat orang pribadi yang belum melakukan sistem pencatatan adminsitrasi dan pembukuan yang masih menggunakan norma penghitungan dalam menghitung pajak terutang.
Penerimaan pajak dari PPh orang pribadi belum naik secara signifikan dibandingkan dengan PPh dari wajib pajak badan.Prestasi selama tahun 2009 porsi penerimaan Pajak Penghasilan dari PPh Orang pribadi hanya menyumbang 22,89 % dengan PPh Badan sebesar 77,11 %. Ironis dengan tren di Negara maju seperti Amerika Serikat yang menjadi benchmark sistem perpajakan berdasarkan self assessment yang diantut oleh Indonesia telah mencapai rasio penerimaan Pajak dari PPh orang pribadi sebsar 84,9 % dan PPh badan sebesar 15,09 %.
Membandingkan kinerja penerimaan pajak terhadap GDP sebagai ukuran dari tax ratio sungguh menjadi impian. Seluruh masyarakat berharap dengan penuh optimis kepada peran Direktorat Jenderal Pajak dalam memenuhi tuntutan untuk mensejahterakan masyarakat. Angka nominal pencapaian penerimaan pajak yang diganjar sebesar 12 % dari taksiran PDB di akhir tahun 2010 yang akan mencapai Rp 6.500 triliun niscaya mampu menghasilkan penerimaan pajak sebesar Rp 780 triliun.
Lalu pertanyaannya apakah pemerintah dengan mudah dan mampu meraup penerimaan dalam negeri dari potensi angka PDB yang menjanjikan tersebut? Walaupun diyakini masih terdapat sektor kegiatan ekonomi masyarakat yang belum tercatat dan termasuk dalam komponen perhitungan PDB yang resmi diumumkan oleh Biro Pusat Statistik setiap periodik.
Jawabanya memang tidak serta merta terdapat korelasi langsung antara kenaikan nominal PDB dan pertumbuhan penerimaan dalam negeri. Sebab dibutuhkan upaya ketat dan lintas sektoral yang harus disinkronkan antara semua aparat baik pemerintah pusat dan daerah untuk mendukung tercapainya iklim investasi yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara riil tanpa didompleng adanya high cost economy yang sulit dihindarkan.
Solusi
Berbagai hambatan menghadang upaya pemerintah untuk menjaga iklim pertumbuhan ekonomi yang sustainable di tahun 2011.Sisi utama dari belum pulihnya perekonomian global yang dimotori perekonmian Ameriak Serikat yang masih loyo sehingga akan terjadi pelambatan ekspor komoditi barang jadi dari Indonesia yang secara langsung memukul dan mengurangi keuntungan perusahaan sebagai motor pembayar pajak terbesar. Termasuk masih naiknya harga komoditi pangan yang tidak diimbangi oleh penyediaan produsen pangan lokal sehingga akan menambah beban impor pangan yang menyedot devisa.
Hambatan utama di dalam negeri yang dapat mengganggu salah satu pilar janji pertumbuhan (pro growth) RAPBN 2011 adalah masih langkanya pasokan energi bagi kebutuhan perusahaan industri manufaktur sehingga menggagnggu pasokan barang kebutuhan masyarakat di dalam negeri. Pada akhirnya akan memicu peningkatan ketergantungan kepada produk asing yang akan mengurangi potensi penjualan produsen barang dalam negeri dan bisa mengubah strategi dari produsen menjadi distributor produk murah dari asing seperti China.
Strategi apa yang perlu ditempu pemerintah untuk menggenjot peningkatan penerimaan pajak yang mampu menaikkan tax ratio dan menggali potensi tax effort yang masih luas? Tidak seperti membalikkan telapak tangan yang bisa mengukur secara pasti hasil atau output suatu kebijakan pemajakan. Secara kelembagaan Kementerian Keuangan telah mencanangkan program modernisasi adminsitrasi sistem perpajakan yang telah mencapai jilid dua dan telah dilaunching kembali pada tanggal 18 Agustus 2010 oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Selanjutnya yang penting dilakukan adalah upaya secara konsisten dalam penegakan hukum (law enforcement) baik terhadap wajib pajak dan kepada aparat pajak sendiri yang telah domotori pembentukan Komite Pengawas Perpajakan sebagai lembaga kredibel yang mampu menjaga konsistensi kelembagaan. Memang alasan klasik bahwa kepatuhan membayar pajak di Indonesia masih tergolong rendah sehingga melalui sinkronisasi sesama aparat penegak hukum akan dapat mendorong penurunan pengemplangan pajak dan menaikkan tingkat kepatuhan sukarela.(Arles Ompusunggu)

Tidak ada komentar: