Rabu, 15 September 2010

DEFISIT APBN: MADU ATAU RACUN?

Membengkaknya jumlah utang pemerintah baik domestik dan luar negeri yang telah mencapai Rp 1.680 triliun di tahun 2010 menjadi salah satu indikator rawannya risiko fiskal dalam RAPBN tahun 2011. Bahkan jumlah tersebut masih akan digenjot hingga Rp 1.880 triliun di tahun 2011 guna menambal bolong atau defisit APBN.Apakah ada yang salah membelanjai defisit APBN dengan salah satu sumber dari pembiayaan utang?.Pro dan kontra saling beradu antara pihak yang mendukung dan yang menolak perihal perlunya pelebaran defisit APBN yang utamanya dibiayai dengan utang pemerintah.
Pembelanjaan pemerintah yang dialokasikan untuk keperluan rutin dan proyek pembangunan sejatinya disesuaikan dengan sumber penerimaan dalam anggaran negara. Apa daya pembengkakan rencana pengeluaran dalam RAPBN 2011 yang telah diajukan dalam Nota Keuangan Pemerintah di DPR tanggal 16 Agustus 2010 lalu menjadi pemicu untuk menutupi shortfall penerimaan dengan rencana defisit anggaran. Kisaran rencana defisit sebesar Rp 115,7triliun atau setara 1,7 % dari Produk Domestik Bruto (PDB) sungguh bukan angka yang kecil walau tidak signifikan dibanding defisit Amerika Serikat sebesar 12,3 % dari PDB atau setara US $ 1,7 triliun.
Memang ada harapan bahwa pengalokasian anggaran yang didanai sebagian dari pembiayaan defisit akan mampu mendorong percepatan pembangunan terutama infrastruktur yang sangat mendesak. Andai tercapai pemerataan dan akuntabilitas serta transparansi penggunaan anggaran pemerintah maka kekhawatiran inefisiensi dan kebocoran anggaran menjadi sirna.Sehingga tujuan penyerapan anggaran yang realistis semakin cepat direalisir untuk mampu mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi yang ditarget mencapai 6,3 %.
Permasalahannya tidak sesederhana membalikkan lembaran halaman buku tanpa menghubungkan ke halaman berikutnya. Sebab akar permasalahan muncul dihilir pengguna anggaran yang tidak segiat penyedia sumber penerimaan. Rencana alokasi pembangunan proyek pembangunan yang digagas dengan indah oleh Kementerian dan Lembaga Negara Non Departemen saat pengajuan bujet ke Kementerian Keuangan menjadi gamang saat pelaksanaan. Ruwetnya birokrasi pengadaan proyek dengan kendala persyaratan tender yang jelimet dan rawan risiko membuat pihak pengelola anggaran pembangunan seakan ciut melaksanakan tugas pokoknya.
Kebijakan defisit APBN dan penggunaan anggaran dan belanja negara yang dijalankan pemerintah sebenarnya cukup jitu sebagai bantalan siaga penyediaan dana darurat. Sebab kelangkaan sumber anggaran akibat mismatch penerimaan pajak dengan pengeluaran pemerintah segera dapat ditambal dengan dana yang segera tersedia.Kesinambungan pelaksanaan anggaran selalu terjaga meski terkesan seperti menyelesaikan masalah dengan risiko beban utang yang semakin meningkat.
Oportunitas
Kalangan yang pro terhadap pembelanjaan defisit mendukung dengan gigih penambahan anggaran belanja Negara melalui penambahan defisit APBN. Alasan utamanya adalah timing penerbitan utang pemerintah andai tidak ada sumber lain seperti penjualan asset Negara, dividen BUMN. Dengan kondisi country risk Indonesia yang semakin baik yang diyakini tahun depan mencapai investment grade dari lembaga peringkat Standar and Poor’s dan tingkat bunga global masih rendah merupakan oportunitas mendapatkan sumber pendanaan utang baik domestik maupun global.
Harapan untuk mengejar tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3 % dapat dicapai dengan strategi percepatan pembiayaan termasuk penigkatan porsi defisit. Apabila sinkron dengan penelitian di 103 negara berkembang oleh Gupta (2007) yang menyimpulakn bahwa pendanaan anggaran pemerintah melalui pinjaman tanpa hibah akan mampu mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi suatu Negara.Namun asumsi yang digunakan tidak terjadi moral hazard dalam penggunaan anggaran. Artinya semua elit pemerintah berupaya semaksimal mengalokasikan anggaran bagi pertumbuhan ekonomi yang berharap mampu melunasi kembali utang jatuh tempo.
Ideal memang dengan pertumbuhan ekonomi relatif tinggi laksana madu yang mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh warga. Sehingga alasan peningkatan anggaran yang dialokasikan membangun infrastruktur secara allout dapat mendorong jalannya ekonomi sektor riil yang menjadi kendala bagi masyarakat dunia usaha. Pemerintah menjadi motor penggerak roda pembangunan sektor sulit yang secara otomatis diikuti sektor swasta dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang merata.
Pandangan pihak yang kontra terhadap peningkatan APBN dari defisit anggaran mengestimasi ketidak mampuan aparat pemerintah sebagai garda terdepan menciptakan peluang usaha. Maksud untuk mendorong perekonomian rakyat malah memunculkan sinisme dan pesimisme yang menjadi momok bagi dunia usaha. Dorongan untuk memaksimalkan peran swasta ikut melaksanakan proyek infrastruktur seakan bukti ketidak percayaan terhadap aparat pemerintah mengelola anggaran defisit. Sinyalemen yang belum terbukti empiris bahwa tingkat kebocoran anggaran dikisaran 30 % setiap tahun semakin menurunkan trust dunia usaha kepada pemerintah.
Ketidak cermatan pengelolaan anggaran belanja Negara yang ditopang pembelanjaan defisit dari utang bisa menjadi racun bagi generasi mendatang. Beban pembayaran pinjaman pokok dan bunga terpaksa ditempuh melalui penerbitan utang baru yang menjadikan porsi utang terhadap PDB semakin membengkak.
Namun ada kesan kebijakan anggaran yang prudent tanpa ekspansi yang signifikan merupakan pilihan aman bagi pemerintah dalam menyiasati kelangkaan sumber pembiayaan selain utang. Seandainya penerimaan dalam negeri semakin baik terutama sektor pajak alangkah manisnya perjalanan APBN di masa- masa mendatang.
Perlu ditempuh berbagai langkah yang tidak bersifat gradual sehingga dapat menurunkan tingkat ketergantungan APBN terhadap pembiayaan defisit. Hal penting yang perlu dilakukan adalah dengan percapatan reformasi dan modernisasi semua unit kerja pemerintah baik secara struktural dan kelembagaan. Tentu membutuhkan penyerapan angaran yang lumayan besar namun daripada dilakukan secara parsial akan membawa dampak perbaikan kinerja pelayanan lebih baik di masa mendatang. Upaya ini diyakini mampu mengikis mental korup aparat pemerintah yang selama ini telah meruntuhkan moral kehidupan masyarakat.
Upaya percepatan penyerapan anggaran proyek pembangunan yang berorientasi pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja juga penting segera dilakukan. Ide yang dilontarkan prediden SBY untuk menciptakan lapangan kerja baru 10,7 juta hingga tahun 2014 tidak menjadi khayal belaka. Kebutuhan anggaran infrastruktur yang dibutuhkan untuk itu mencapai Rp1.900 triliun tentu tidak cukup hanya ditutup oleh anggaran pemerintah.
Hanya saja banyaknya unit kerja pemerintah mulai perencanaan hingga pelaksanaan dan pengawasan proyek menjadikan inefisiensi pelaksanaan fisik pembangunan. Oleh karenanya harus dikurangi intervensi pemerintah pada pelaksanaan proyek yang didanai dari pembiayaan defisit supaya terukur kinerja yang nyata. Caranya dengan melibatkan peran sektor swasta baik lokal dan perusahan internasional melalui tender terbuka seperti e-procurement. Harus dapat dikaitkan antara rencana pembiayaan proyek dengan sumber defisit APBN dan target pertumbuhan yang dihasilkan supaya biaya dan benefit dapat terukur dengan tepat.
Alternatif solusi
Langkah kehati-hatian yang ditempuh pemerintah dalam mendobrak kebuntuan pelaksanaan proyek pembangunan utamanya infrastruktur yang masih mandeg diyakini belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi sesuai target. Dibutuhlan langkah taktis dengan mencontoh upaya pemerintah Tiongkok yang berhasil menjadi Negara terkaya kedua di dunia setelah Amerika Serikat dan menyalip Jepang semata karena fokus pada proyek infrastruktur.
Pemerintah harus berani melakukan terobosan memangkas birokrasi bila perlu menutup instansi yang tidak kompeten dalam menangani koordinasi pelaksanaan proyek. Tidak ada salahnya jika dilakukan kerja sama operasi dengan pihak swasta dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur. Apabila jangka waktu penyelesaian proyek multiyears maka sumber dana telah tersedia di awal yang tidak harus mengikuti mekanisme per satu tahun anggaran.
Instansi yang sudah eksis seperti Pusat Investasi Pemerintah di kementerian Keuangan bisa diberdayakan secara maksimal bekerja sama secara koordinatif dengan lembaga yang memberikan perijinan di departemen terkait dan Bappenas serta BKPM yang telah diwacanakan. Masyarakat masih melihat apakah langkah tersebut tidak memperpanjang birokrasi yang telah menjadikan roda pembangunan bottleneck selama ini.
Alasan kekurangan anggaran pembangunan dan keinginan meningkatkan pembiayan defisit APBN di tahun- tahun mendatang akan terjawab apabila pemerintah konsisten menyerahkan kepada pihak swasta sebagian urusan yang mampu menerobos pertumbuhan ekonomi. Manisnya madu yang dihasilkan dari output pembangunan yang langsung dirasakan masyarakat akan dapat dirasakan oleh generasi mendatang yang tidak hanya diwariskan beban utang yang menggunung.

Tidak ada komentar: