Kamis, 11 Desember 2008

Menggugat kembali sistem perpajakan berdasarkan self assessment

Upayaa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengajukan judicial review terhadap Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 tentang ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP) khususnya yang menyangkut pasal kerahasiaan jabatan dan pemungutan berdasarkan self assesment perlu disikapi dengan jernih. Dalih bahwa tanpa adanya pengawasan yang efektif baik terhadap Wajib Pajak (WP) dan aparat pajak (fiskus) maka sistim self assesment patut dipertimbangkan kembali menjadi official assesment sehingga akan menaikkan penerimaan pajak secara signifikan. Penulis hanya mengajukan pemikiran tinjauan literatur yang terkait dengan sistem pemungutan pajak yang berlaku sejak tahun 1984 dari official assesment ke self assesment.
Kelemahan utama dari sistem self assesment selama ini adalah ketidak mampuan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk melakukan crosscek terhadap semua arsip/catatan WP akibat tidak adanya akses langsung ke pihak ketiga seperti perbankan dan instansi lainnya. Sehingga DJP dalam setiap pemeriksaan pajak bertumpu kepada catatan/dokumen yang dilaporkan oleh WP sesuai angka yang tercatat di dalam laporan keuangan yang dilampirkan di Surat Pemberitahuan tahunan ( SPT). Ditambah dengan keterbatasan jumlah tim pemeriksa pajak yang sekarang berjumlah sekitar 2300 orang dari jumlah ideal 7000 untuk menjangkau sekitar 1,5 juta WP yang aktif sehingga WP yang tidak terperiksa selama 10 tahun akan bebas atau daluwarsa dari pengenaan pajak atau dianggap telah sesuai dengan yang dilaporkan oleh WP.
Realita dari pengecekan yang dilakukan oleh DJP nyaris berkutat pada pemeriksaan mandatori yaitu atas SPT WP yang menyatakan lebih bayar dan rugi sementara untuk pelaporan lainnya hampir luput dari pemeriksaan. Ada benarnya sinyalemen dari BPK bahwa SPT WP yang dilaporkan berdasarkan sistim self assesment tanpa diiringi pemeriksaan yang objektif dan independen maka kemungkinan pelaporan pajak understated dari yang seharusnya.

Kepatuhan Pajak yang semu
Sejak reformasi perpajakan tahun 1984 dari penetapan jumlah pajak terutang oleh aparat pajak menjadi penetapan sendiri, menghitung dan melaporkan oleh WP yang dinamai sistem self assesment maka harapan pemerintah untuk tercapinya peningkatan kepatuhan pajak (tax compliance) dari WP secara signifikan masih sulit terlaksana. Terbukti dari hasil pemeriksaan DJP atas SPT WP yang menimbulkan tunggakan atau tagihan pajak berupa Surat ketetapan Pajak (SKP) kurang bayar yang dilunasi atau digugat ke Pengadilan Pajak merupakan indikator masih rendahnya tingkat kepatuhan pajak dari WP.
Walau penerimaan pajak setiap tahun anggaran selalu meningkat namun indikator tax ratio yaitu perbandingan antara penerimaan pajak suatu negara dan total pendapatan domestik bruto yang masih berkisar 12 % lebih rendah dengan negara-negara kawasan ASEAN di angka 17 % menunjukkan bahwa masih terdapat tax potential gap yang perlu digali. Dengan tingkat kepatuhan terhadap peraturan UU Pajak secara sukarela yang measih rendah akan sulit mengharap tercapainya peningkatan penerimaan pajak secara signifikan.
Apakah sistem pemungutan pajak yang kurang tepat selama ini? Atau memang aparat pajak tidak bekerja dengan optimal? Sistem pemungutan pajak berdasar self assesment akan optimal apabila terukur dari peningkatan tax ratio. Indikator pengujian DJP atas pemenuhan kewajiban pajak dari SPT WP terlihat dari hasil pelaksanaan audit pajak yang jumlahnya relatif rendah kl 1, 2 % dari jumlah WP yang melaporkan SPT setiap tahun.
Sebagai contoh empiris meningkatnya kepatuhan WP adalah dari pelaksanaan sistem witholding pemotongan dan pemungutan atas PPh final yang telah diberlakukan seperti pengalihan harta/ bangunan, transaksi saham di bursa efek, Namun tidak diikuti pemotongan dan pemungutan atas PPh pasal 23 yang tidak bersifat final tetapi dikreditkan di akhir tahun. Artinya tingkat kepatuhan WP seolah-olah bersifat semu karena semata-mata didasarkan by system dan tidak terhindarkan oleh pelaku bisnis.
Perlu diupayakan secara berkesinambungan pendekatan kepada WP yang tingkat kepatuhan pemenuhan kewajiba pajak rendah melalui perhatian khusus dari aparat pajak membimbing WP dalam menyusun laporan SPTnya. Konsekuensinya dibutuhkan kecukupan tenaga DJP yang profesional dan adanya penjabaran dan intrepretasi yang jelas dari ketentuan perpajakan yang ada.

Modifikasi sistem self assesment
Prioritas utama yang hendak dicapai dari penerapan suatu sistem pemungutan pajak adalah upaya untuk meningkatkan tax ratio yang berkorelasi meningkatkan penerimaan Negara dari sektor perpajakan. Tercapinya penerimaan pajak yang tinggi akan mendorong penurunan ketergantungan pemerintah kepada sumber pembiayaan dari utang domestik dan utang luar negeri.
Kembali ke sistem official assesment adalah setback yang tidak manjadikan WP meningkat kepatuhannya. Yang akan terjadi adalah penumpukan pembayaran pajak menunggu penetapan final oleh aparat pajak. Perlu dipahami bahwa sistem ini cocok diterapkan untuk negara dengan jumlah WP relatif kecil dan diiringi kemampuan aparat pajak dalam pelaksanaan penghitngan pajak.
Lebih baik adalah membuat penggolongan WP menurut skala usaha seperti yang telah dilakukan oleh DJP dewasa ini yaitu memasukkan dalam skala besar, menengah dan kecil dalam pengawasan dan pembinaan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) WP Besar, Madya dan Pratama. Pemberlakuan sistem self assesment secara murni diterapkan kepada penghitungan,pembayaran dan pelaporan kepada semua WP dengan modifikasi pengawasan dan pelayanan secara intens kepada WP skala kecil di KPP Pratama.
Bentuk modifikasi sistim pemungutan pajak dilakukan melalui pendekatan secara parsial kepada WP yang dipilih secara acak sebelum masa akhir penyampaian SPT akhir tahun. Melalui konseling dan penyuluhan secara terbuka akan menjadikan WP semakin paham dalam mengisi sendiri, menghitung beban pajak dan membayar sendiri sesuai kondisi usaha yang sebenarnya.
Konsekuensi pengecekan oleh DJP yang mengarah ke post audited yaitu masa setelah pelaporan SPT oleh WP maka sebaiknya masa daluwarsa dihilangkan atau minmal ditambah dari 10 tahun menjadi 20 tahun seperti yang terjadi di Inggris.
Satu hal yang perlu dipahami bahwa tanpa diiringi dengan rasa kepercayaan dan kesadaran sendiri akan manfaat pajak yang dibayarkan ke Negara maka sebaik apapun sistim pemungutan pajak akan sia-sia.
Pilihan sistem pemungutan pajak antara self assesment dan official assesment seharusnya didisain untuk:
(1) Mengoptimalkan peningkatan penerimaan pendapatan Negara untuk membiayai pengeluaran publik.
(2) Menjadi stimulus yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan investasi asing di Indonesia.
(3) Mencerminkan prinsip keadilan pajak (equity) yaitu adanya kesamaan pemajakan atas jenis penghasilan wp. Pembebanan pajak adil apabila setiap wp menyumbangkan suatu jumlah untuk dipakai guna pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya dan manfaat yang diterima dari pemerintah.
(4) Pelaksanaan pemungutan yang efisien dan sederhana sehingga memudahkan bagi wp dalam pemenuhan kewajiban dan kepatuhan pajak.
(5) Membuka ruang seluas-luasnya bagi auditor pajak baik dari internal DJP dan eksternal untuk melakukan investigasi atas laporan SPT WP. Ketidak lengkapan informasi seperti yang dilaporkan oleh WP yang dikenakan pajak final akan menyulitkan auditor pajak melakukan penelusuran atas laporan wp.
Modifikasi sistem pemungutan pajak yang dipilih sebaiknya tetap mempertahankan sistem berdasarkan self assesment namun mengarahkan supaya pajak diterima lebih dini secara sistematis tanpa menunda ke akhir masa setiap tahun. Melalui perluasan basis pemungutan pajak secara dini dalam pemungutan/pemotongan yang dikenal sebagai witholding tetapi tidak mengarahkan menjadi pajak final melainkan wajib diperhitungkan pada akhir tahun akan menjadi sumber informasi akurat dalam mengevaluasi tingkat kepatuhan pajak.
Pilihan untuk menggugat kembali sistem pemungutan pajak yang telah dibangun berdasarkan self assesment sejak tahun 1984 hingga sekarang harus didasarkan argumen dan arah yang jelas. Harus ditonjolkan aspek implikasi yang mendorong peningkatan kemandirian bangsa dalam mengatur rumah tangga penerimaan dan pengeluaran yang bersumber dari penerimaan pajak. Upaya coba-coba yang bersifat trial and error akan membuat inkonsistensi dan butuh waktu lama dalam penyesuaian. (Isi adlah pendapat (opini ) pribadi Arles Ompusunggu)

Tidak ada komentar: